SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Selasa, 12 Oktober 2010

Seseorang dan Kerja Keras Untuk Menjadi Penyair

Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka kerja keras adalah upaya untuk meraih kesuksesan. Ya, kerja keras. Untuk menjadi penyair seseorang harus menulis puisi dengan baik. Sedangkan puisi yang baik dihasilkan dari ketekunan, yang tentu saja butuh kerja keras. Menjadi penyair, segalanya menjadi tiada. Ia harus melihat segala sesuatunya tiada berbeda. Ia harus memandang semuanya sama. Jika tidak, apa yang ia tuliskan tidak akan mengena ke hati pembaca. Ia harus memahami tulisannya dalam pandangan yang sama itu. Yang universalis itu. Puisi menjadi universal, jika ia dituliskan dalam bahasa yang universal. Bagaimana bahasa yang universal itu?


Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka seseorang harus bekerja keras untuk mencari tahu bahasa yang universal itu. Untuk mengetahui bahasa yang universal itu, ia harus menjadi universal. Bagaimana seseorang tahu yang universal jika ia tidak universal? Bagaimana seseorang tahu bahwa ia universal sedangkan ia universal?


Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka seseorang harus bekerja keras untuk mencari tahu apakah ia seseorang yang universal atau bukan. Maka ia membanding-bandingkan bahasanya dengan bahasa seseorang yang ia anggap universal itu. Ia membaca karyanya berulang-ulang. Ia tafsirkan maksud karyanya. Setelah ia dapatkan tafsir yang tepat, ia pun berlindung dari tafsir itu dan mencari tahu apakah tafsir yang ia berikan itu tepat-universal atau tidak.


Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka seseorang harus bekerja keras untuk mencari tahu apakah tafsirnya tepat-universal atau belum tepat. Ia pun melakukan analisis kasus secara universal. Ia meyusun suatu latar belakang masalah secara universal. Kemudian ia merumuskannya secara universal pula. Tujuan-tujuan yang universal. Diteruskan dengan membuat batasan yang universal.


Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka seseorang harus bekerja keras untuk melanjutkan hasil dari analisis kasusnya, rumusannya, tujuannya, dan batasannya – yang kesemuanya universal – itu. Ia harus membuka wawasannya terhadap karya yang universal itu. Mencatatnya. Mensintesiskan setiap catatan wawasannya ke dalam bahasa yang universal. Ia mulai tidak yakin. Tetapi ia teruskan. Ia menambahkan kata-katanya sendiri dari catatan-catatan universalnya. Ia menambahkan catatan kaki (jika menjadi keharusan).


Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka seseorang harus bekerja keras kembali menjawab apakah yang ia tuliskan, ia bahasakan ke dalam bahasa yang universal. Jika menjadi penyair adalah pekerjaan, maka seseorang harus bekerja keras untuk menunda kekalahan.

Rabu, 29 September 2010

Seperti Tidak Lagi Muda

kami seperti tidak lagi muda

saat petasan lepas ke udara

ada pikiran yang lengas di jalan ini

tetapi tidak sesuatupun jelas lagi

 

inilah hari di mana kami harus pergi

atau kembali ke_keharibaan tubuh ini

yang dengan keterbukaannya

kami terima apa adanya

 

inilah hari di mana kami

kembali tidak mengerti

mengapa mati adalah pilihan kami.

 

Seekor lalat hinggap di teras tengah rumah

tewas dipukul sapu lidi kami.

Jumat, 23 Juli 2010

Juru Sambutan Ketiga

rambut yang terhormat, dengan sangat

terpaksa aku harus mengguntingmu. Karena

urusan keluarga aku merasa tak kuasa

menenggak apa yang selalu ingin kau

pastikan kepadaku. Yang membuat aku percaya

bahwa tak sepenuhnya kami tak memikirkan

keluarga. Di depan kaca, aku cukup malu

untuk berkata-kata. Maka aku memilihmu

saja. Rambut yang terhormat,

di depan kaca kau mengkultusku sebagai

malaikat pencabut rambut.

aku ingin menyangkal itu. Karena yang

aku lakukan hanyalah memotong.

mengapa kau menjadi tampak tolol di depan

kaca? Kambing saja kehilangan nyawa

karena disembelih bukan karena dicabut

rambutnya. Tetapi aku telah menyiapkan

gunting yang tajam sehingga kau tak

merasakan sedikitpun kesakitan di depan kaca.

kecuali mata saya.

Juru Sambutan Dua

kaki, berangkat adalah kepergian yang hangat

tetapi kerinduan bukanlah waktu yang singkat

sesingkat kita menggosok-gosokkan gigi

pada pinggul sikat yang serat. “Awas kau

tergelincir lagi! Gusimu yang tua bisa

kembali berdarah karena luka lebam

sepuluh tahun sudah kembali menjadi

sasaran.”. Tepat saran. Kaki, jika nanti,

kau benar-benar memilih kembali, bawakan

aku beberapa tangkai daun seledri.

perang di rumah akan sangat dingin.

dan i yang hilang telah pulang.

Senin, 12 Juli 2010

Juru Sambutan Satu

gigi-gigi yang terhormat sambutlah salam hangat dari kami yang teramat mayat.
kami baru saja mati terkena Trojan. Beberapa harus bersedia mati ditembak
oleh Ansav. Beberapa lagi di antara kami selamat namun harus menderita cacat.
jauh lagi ke dalam, tubuh kata hidup tanpa kepala. Tapi sungguh, karena ia
masih keluarga kita, beberapa masih dapat dikenali identitasnya. Misalnya, hasy,
oleh ahli forensik dapat dikenali sebagai harusnya. Tdk? Ah, hanya masalah
huruf vokal saja. Mungkin saja sebagai tidak . Prang, sampai saat ini masih
diduga sebagai perang. Tetapi, gigi, seluruh di antara kami, belum satu pun
mengetahui apakah kata yang satu ini cacat atau sempurna, kami terus saja
mencari tahu, terus saja kami berselisih tentang ini. Yang satu mengatakan,
“ia tidak cacat; ia tetap kursi.”. Yang satu mengatakan, “ia cacat; ia seharusnya
korupsi.”. Sampai akhir, dari 5000 kata yang cacat, dalam sambutan ini, kami
sampaikan kepada seluruh gigi, kami belum dapat memastikan, apakah ia kursi,
apakah ia korupsi. Yang pasti virus telah berhasil menjangkiti keluarga kami.

“…?”
“mayoritas kehilangan i.”

“…?”
saya lebih suka anda percaya bahwa anda tidak percaya.


oky sanjaya

Juru Nasehat Satu

pergilah ke toilet sekarang. Aku tidak ingin kau mengidap
paru-paru basah. Seperti diriku. Telapak tanganku basah.
setiap harinya di dalam ruangan ber-AC ini, tubuh kita
bergerak lebih kencang sehingga sejarah yang seharusnya
dipilah dan diserap dengan teliti telah kacau untuk dibuat
pemisahan. Kau tahu tentunya ada yang tak tertuliskan
dalam pembicaraan ini. Sesuatu yang deras; sesuatu yang
tak dapat terbendung lagi; telah sepenuhnya membongkar
seluruh rahasia. Tetapi, sayangku, kau tak perlu kecewa.
kau telah terbuka.

oky sanjaya

Juru Penyapa Satu

di suatu waktu, pada kilobyte yang entah berapa, kau menyapaku
dengan sangat hangat sehingga beberapa tafsir kita tentang website
tidaklah begitu konyol, agak mesum, atau agak durhaka pada kata.
kita seperti dua angsa macromedia flash yang kosong background
berenang-renang dan mengharap ada beberapa daun desain gugur
karena program komputer yang error. Tapi itu tidak mungkin terjadi
jika sebelumnya kau memang tidak membuatnya, dan mendeletnya
tanpa sabar. Aku tahu, kita memang mengharapkan sungai mengalir
di layar ini. Sungai sebenarnya. Beriak-riak karena batu. Licin karena
lumut. Dan pada arus yang agak dalam, kutambatkan kailku. Bersabar
sampai cakrawala (yang sesungguhnya hanyalah sebuah layar 14 inci)
tampak kemerahan di pelupuk mata. Sampai akhirnya kau off line tiba-tiba.

oky sanjaya

Juru Mayat Satu

siapa yang lebih tahu mayat selain mayat itu sendiri? Tuhan.
tuhan tidak bertugas mencabutnya. Kalau begitu malaikat.
malaikat pesuruh saja. Siapa yang lebih tahu mayat selain
mayat itu sendiri? Sudah jujur saja. Bilang saja mayat.

oky sanjaya

Berjalan di Atas Sandal

bagaimana kabarmu, saudara? Hari yang menyenangkan, bukan? Kali ini mungkin
aku tak terburu-buru mengentri data ini. Kehidupan yang sejenak menantang
Abad Berlari; palu yang mulai tumbuh rambut. Tuan harap gersang, hanya dengan
itu aku mampu bersarang.
Dan kembali gagal menggoda anak cucu Gunawan. Siapa
itu yang punya celana? Ya, itu, si Joko; kasus pembunuhan pertama – vonis yang tak
pernah tegas. Seperti titik yang tak pernah tuntas. Nah, aku nitik lagi. “Tuan-tuan
yang terhormat, aku kembali lagi mendarat. Sungguh, aku sangat takut turbulensi;
tiba-tiba moncong sandal oleng, kemudian sayap, lalu diikuti sentak pinggang. Udara
makin buruk saja.” Kabarku baik. Sekarang jam sebelas. Jam sekarat. Tapi kau pantas
untuk mendapatkan dataku secara lambat. Tiba-tiba saja aku membayangkan kau
orgasmaya dan melahirkan sejuta kb sperma; handuk tak ada di layar; kau terjun lalu
memformatnya ke dalam html. Tetapi html tak punya serat. Licin. Maka tersungkur
ke dalam ignore atau not responding. Refresh. Ah, aku aut membayangkanmu.
sejurus aku hentakkan sandal kiriku; penerbangan yang agak berbeda. Bergerak
melewati selangkangan; selangkangan menyapa, “awas kau toel antena. Komunikasi
kita terputus.” Kau akan berangkat dengan keseimbangan yang berat. Sungguh
gravitasi menjadi musuh yang amat sayat. Semoga tuhan memberkatiku. Sejengkal
di atas ketinggian dunia. Tuhan, seharusnya kau membuat dunia ini dengan gerakan
lambat.
Oh, maaf, seharusnya aku tidak bicara dengan tuhan saat ini. Ada kamu yang
sedang membacaku. Baiklah, aku ganti kata-katanya. Pembaca, seharusnya kau
membaca ini dengan gerakan lambat.
Kau akan tahu data yang seharusnya tak perlu
kukabarkan padamu. 42 nomor sandalku. Terbang dari jejak ke jejak. 5000 rupiah
harganya. Tanpa penawaran. Kau dapat membelinya dengan enter.

oky sanjaya

Juru Selamat Puisi

jika puisi ini telah selesai kami tuliskan
tak perlu kau sebut satu per satu
nama kami. Tak perlu kau peduli
bagaimana kami hidup dan bagaimana
kami mati. Cukup kau gauli saja
dengan intim. Dan kau jangan cemburu,
kami akan lebih muda dari dirimu.
bangsamu akan lebih bijaksana
dari undang-undangmu; dari keputusan
yang tak pernah selesai kau tegaskan.

oky sanjaya

Juru Berangkat Kami

kami yang tidak pernah berhak memiliki;
izinkanlah kami pergi.

oky sanjaya

Sabtu, 26 Juni 2010

“Cumbung Lappung” dan Budaya Nihil

Tradisi dan Tradisional

Sebelumnya pada zaman entah-berantah kita belum memberikan konvensi penting pada kata “tradisi” dan “tradisional” baru setelah zaman kemerdekaan berbahasalah kita memulai memberikan istilah-istilah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kita telah mengetahui, ada yang menulis A untuk mewakili sifat dari suatu zaman, ada yang menulis B karena melihat latar belakang dan latar depan pengamatan, ada yang menulis C karena mengintip dari celah kecil pintu yang terkunci, ada (mungkin yang lain) dan lain-lain. Tapi yang terpenting kesemua istilah tersebut berangkat dari konvensi.

Bahasa memiliki sifat konvensi dan berkembang. Bahasa berkembang karena merdeka – karena gejala estetis (saya curiga sebenarnya bahasa muncul tidak direncanakan) – ada gelaja (maksud saya gejala) “spontanitas estetis“.

Pada akhir-akhir ini dikatakan modern dikatakan tidak bernilai manusia. Maka kata “tidak manusiawi“ muncul digaris depan, menghantam, dan berupaya meluluh lantakan persoalan-persoalan yang pada dasarnya adalah penderitaan-penderitaan yang dialami manusia. Di sudut pandang yang lain, dari lorong-lorong gang peradaban, dari lekuk-liku jalan setapak, kita dapat melihat kata “modern“ mengalami penyesuaian. Modern berkenaan dengan “apa yang dimakan“ sedangkan pelestarian nilai budaya berkenaan dengan “bagaimana memakannya“.

Tidak semua orang memakan mie pangsit dengan sumpit. Kenyataannya ada yang menggunakan sendok saja, garpu saja, dan ada yang menggunakan keduanya. Beberapa kalangan memakan sebentuk daging menggunakan pisau dan garpu. Tetapi di restoran yang sama ada juga yang lebih nikmat menyantapnya dengan menggunakan tangan. Dengan demikian, “apa yang dimakan“ itulah yang saya sebut modern dan “bagaimana memakannya“ itulah yang saya sebut tradisi. Jika di antara kita menerima keduanya, menerima timur dan barat peradaban, di antara kita tadi akan menyongsong hari moderat yang lebih baik. Ada yang perlu dipertahankan ada yang perlu dibuang karena moderenitas dan tradisional terikat dalam sekuali kebudayaan. Kebudayaan, lagi-lagi, merupakan hasil olahan, ramuan manusia sehingga diharapkan menyehatkan dan di antara kita akan ada yang kecanduan. Yang kecanduan akan cenderung mempertahankan, yang berjarak tentu akan memperkaya, yang menolak dan kritis biasanya yang berada di luar sistem. Ketiga-tiganya mendapat tempat untuk mengakarkan peradaban baru yang “manusiawi”.

Cumbung


Cumbung dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Mangkok.

Berangkat dari humanisme, beberapa diantara kita sibuk mencari tahu siapa dan darimana kita. Diantara kita dipenjara oleh “kalau usul tak boleh asal, kalau asal tak boleh usul“. Tapi pada kenyataannya asal dan usul (meminjam pendapat Budi P. Hatees) adalah “penyakit pikiran”. Kita sah-sah saja mengatakan berasal dari, lahir dari, mulai menempati dari, mulai berjalan dari, karena di antara kita memiliki pertimbangan-pertimbangan gejala. Saya tidak begitu yakin cumbung yang berisi gulai taboh takil cok iwa tenapa akan pecah di tengah-tengah para saibatin, punyimbang dan masyarakat adat ketika sedang menyantap hidangan, tapi kemungkinan pecah saat membereskan pelambaran (menyusun kembali mangkok ke dalam sebuah nampannya) akan hadir.

Cumbung itu pecah. Pecahannya berantakan di suatu titik jalan. Beberapa orang menyarankan, “sudah tinggalkan“, yang lain menegaskan, “suatu ketika akan tertusuk kaki pejalan“, yang lain menyarankan, “kumpulkan, rekatkan dengan damar”.

Sayangnya, orang lampung, lebih suka mengumpulkan banyak cumbung, banyak panjang (piring), banyak gelas. Jadi satu cumbung lebih disarankan “sudah tinggalkan”.

Fenomena demikian mengantarkan kita pada suatu kesimpulan: adat Lampung yang dibangun saibatin akan ketahuan. Saya menilai ada kesenjangan antara saibatin dan rakyat. Saibatin tertutup dan rakyat jadi budak, bodoh, dan ikut. Itu karena saibatin memiliki kekuatan dan kekayaan.

Banyak saibatin yang tidak “diakui” lagi dalam masyarakat saibatinya dikarenakan tidak memiliki kekuatan dan kekayaan lagi sehingga dimasyarakat muncul satu konvensi kata yaitu “mbatin”. Seseorang yang telah mbatin menurut konvensi masyarakat itu juga berperan penting dalam pembangunan masyarakat. Bahkan ada yang mengangkatnya menjadi saibatin. Resepsi-resepsi pun dilakukan. Tentunya tetap mengandalkan darah kerbau. Garis keturunan diabaikan karena kekayaan dan kekuasaan. Dan masyarakat Lampung menerima semua itu. Penyebabnya adalah sebagian orang Lampung miskin sedangkan saibatinnya pelit, medit, dan dedemit di dalam masyarakatnya. Inilah yang menyulitkan kita mengumpulkan kembali pecahan-pecahan itu dan merekatkannya dengan damar. Masyarakat mengalami trauma.

Membangun Peradaban Lampung


Lampung itu hilang. Kenyataannya dia ada. Kita sebaiknya berhenti mengatakan “kami asli orang Lampung”. Tidak ada alat untuk mengukur itu. Bagi kita sekarang yang terpenting adalah, dengan keragaman bahasa dan budaya, persoalan unsur serapan yang diterima, bagaimana mewujudkan peradaban Lampung. Apakah ada dihati nurani manusia tidak ingin hidup aman, damai, tenteram, dan sejahtera? Rakyat Lampung saat ini lebih senang berupaya mempunyai TV dan parabola dibandingkan dengan ahli membaca dadi. Dengan di atap rumahnya terpasang parabola cukuplah mereka merasa kaya.

Beberapa orang Lampung yang merantau ke pulau jawa adalah buruh pabrik dan pencuri. Penyebabnya adalah tekanan ekonomi dan pendidikan yang kurang memadai. Keahlian mereka sejak semula adalah menanam kopi dan lada. Keahlian seperti ini tidak lagi mendukung kehidupan mereka yang lebih baik sehingga bertani bagi mereka tidak akan menghasilkan apa-apa. Saibatin tidak pernah memberikan bimbingan dan pengarahan bagaimana mengembangkan daerahnya. Hanya diusia senja saibatin-saibatin itu (mungkin) pulang kampung.

Pada usia produktif pemuda-pemudi Lampung lebih memilih merantau. Hidup sakit ditempat orang, menurut mereka, lebih baik ketimbang hidup susah ditempat sendiri. Rasa gengsi ini telah mendarah daging. Di perantauan jadi kuli tidak apa-apa yang penting ketika dikampung tampak keren. Orang Lampung sejak semula dididik untuk pamer. Pamer kekayaan, pamer jabatan, pamer kekuatan, pamer gaya hidup sehingga di benak mereka hanya satu: pamer. Tidak mengherankan bila Visit Years Lampung 2009 hanyalah sebuah pameran. Orang Lampung, berfikir, lebih baik uang dikumpulkan untuk membeli piring, gelas, mangkok (cumbung), sendok dibandingkan untuk menyekolahkan anaknya. Pendidikan gratis sangat dielu-elukan tanpa mempertimbangkan mutu pendidikan. Sosialisasi yang kurang mengantarkan mereka berfikir bahwa dalam pendidikan segalanya gratis. Saya juga mempertanyakan, iklan gratis pendidikan , mengapa baru muncul setelah pemilu legislatif selesai.

Namun demikian tidak sedikit orang Lampung yang menjual repong dan sawah untuk pendidikan anaknya, menyogok “individu pemerintah“ sehingga anaknya menjadi pegawai negeri, bahkan untuk menjadi seorang buruhpun orang Lampung menyogok. Perlu disadari, memang tidak hanya orang Lampung yang hanyut dalam budaya sogok-menyogok. Sogok-menyogok tidak selesai sampai menjadi buruh. Lembaga hukum dinegeri ini pun rawan sogokan. Polisi, saya meragukan kenetralan mereka. Adakah “nilai baik” yang dimiliki orang Lampung? Jika nilai-nilai tersebut ada di dasar dan tenggelam mari kita angkat kepermukaan. Menjual “nilai baik“ bukankah suatu pembelajaran ke dunia internasional? Bukankah tujuan dasar pendidikan negara kita adalah menghasilkan insani? Saya rasa kita perlu berhenti mencari siapa yang benar dan siapa yang salah di dalam mengangkat tradisi. Pecahan cumbung yang kalian temukan yang seharusnya berada disudut tertentu karena pecahannya mirip dengan sudut yang lain toh cumbung yang kita rekatkan dengan damar itu tetap retak. Tapi paling tidak dia tetap berbentuk cumbung. Dia tetap Lampung kita tercinta.

Budaya Nihil

Ketika saya sedang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya sudah diperkenalkan dengan kata “nihil”. Saat itu saya menjadi ketua kelas. Setiap siswa yang tidak masuk akan ditulis di papan nihil itu dan diberi keterangan apakah siswa itu sakit, izin, atau alpa. Jika tidak satupun siswa tidak hadir di kelas maka papan dengan segera kutulis nihil.

Dari pengalaman itu, dan sampai saat ini, nihil saya pahami sebagai kebaikan. Siswa 100% hadir. Dan bagi guru kehadiran tersebut menjadi petanda dan penanda penting kegairahan pembelajaran.

Jika ada siswa yang sakit dan diterangkan oleh papan nihil itu sampai tiga kali maka kami segera berancang-ancang untuk menjenguk. Segalanya telah kami persiapkan. Mulai dari menarik uang sumbangan sampai mencari mobil angkutan. Demikian pula bila diantara siswa ada yang alpa segera guru menanyakan ke beberapa teman dekat siswa apa, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana siswa tersebut. Guru dan beberapa siswa mulai berprasangka. Ada yang berprasangka baik ada yang berprasangka buruk, dan (mungkin pula) ada yang tidak berprasangka.

Pengalaman ini membuat saya mengerti bahwa data tidak selesai di papan nihil itu. Seorang guru tidak layak dikatakan bijak bila dia langsung memvonis siswa yang alpa 3 kali bahwa siswa tersebut siswa yang tidak berdisiplin. Tentu ada tahapan-tahapannya.

Begitulah yang saya lihat dan saya mengibaratkan Indonesia ini adalah sebuah kelas yang berisi 33 siswa. Salah satunya adalah Lampung. Selama mulai mengikuti bangku sekolah, Lampung ini, termasuk siswa yang sering sakit-sakitan. Meski demikian dia tetap hadir di kelas setiap akan memulai pembelajaran. Pernah suatu ketika, Lampung kumat. Terus kata seorang siswa, “kamu sakit?” Dengan berusaha kelihatan sehat Lampungpun berkata, “saya sehat.“

Oky Sanjaya

Catatan ke 24

Puisi klasik lebih pada dampak;
Puisi kontemporer lebih pada bentuk;

Eh, terbalik!

25 Juni 2010

Sebuah Impian

Pada pengelihatan-pengelihatan dari kegelapan malam
Aku telah memiliki impian yang bertolak dari suka cita
Tetapi sedang bangunnya sebuah impian dari hidup dan lampu
Jepit topi di sebelah kiri kebokekanku – hati.

Ah! Apakah impian berasal dari hari
Bagi mata lelaki yang memantulkan
Pada benda-benda sekitarnya dengan sebuah sinar
Kembali berlangsung putaran masalalu?

Impian suci itu – impian suci itu,
Sementara semua dunia sedang mencari
Jepit topi menyoraki seperti sorotan menyenangkan
Sunyi sedang menuntun jiwa.

Apakah lampu itu lebih dulu, tenggorokan badai dan malam
Sehingga getaran yang berasal dari jauh –
Apakah akan lebih bersih cemerlang
Pada kebenaran hari – bintang?

Edgar Allan Poe (Terjemahan Bebas Oky Sanjaya)

Kamis, 24 Juni 2010

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!

17  Juni 2010

Catatan ke 22

Apa yang kuat; adalah sebuah momentum.
Apa yang tumbang; adalah sebuah momentum.
Yang kekal adalah bakal.

Kampung Baru, Bandarlampung, 13 Juni 2010

Pohon Tumbang dan Catatan ke 21

Pohon Tumbang

catatan-catatan tentang akar yang telah tak kuat menahan beban; batang, dahan, ranting, daun – dan musim berbunga – dan musim berbuah; ketika kita telah berjarak dengan cuaca yang akut di kulit mereka.

o.s.

bandarlampung, 31 Mei 2010


Catatan ke 21

Sandal yang besar, sandal yang menghargai akarnya.

Saudaraku, tidak ada akar yang kuat dari setiap pohon. Kekuatan adalah diam. Sedangkan akar –bergerak. Akar mencari. Mencari hara. Akar menggali – terus ke dalam bumi. Demi batang, dahan, ranting, daun, dan capung yang sedang bercinta itu. Selama hidupnya akar tak pernah berhenti mencari.

Bangsa yang besar, bangsa yang menghargai akarnya.

Catatan ke 20

Menulis puisi adalah menulis “sesuatu” yang ingin dikomunikasikkan. Ada seorang kawan, dulu, menyatakan ini kepadaku, “Aku belum bisa membaca puisimu saat ini, sesuatu yang sulbim.” Hampir empat tahun. Dan aku baru menyadari bahwa kita telah melupan fenomena penting hidup kita. Resonansi: inilah sesuatu yang kita anggap universal itu.

Kampung Baru, 14 April 2010

Catatan ke 19

Jika menginginkan pembaca manusiawi, penulis harus manusiawi.

Catatan ke 18

Puisi yang universal hanya mungkin kontekstual apabila puisi telah menempatkan dirinya sebagai garis potong kemanusiaan. Dengan demikian, dalam menentukan persamaan-persamaan garis puisi dibutuhkan ketajaman persepsi penyair (ket: dalam mempersepsikan sensasi, penyair, berupaya menempatkan puisi pada haknya sebagai sentral ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan terikat waktu; rekonstruksi sensasi, tak ayal lagi puisi apapun bersifat kontekstual. Puisi mengkongkritkan persepsi, dan sebermula adalah sensasi.

Catatan ke 17

Persoalan aksiologi dalam karya sastra bukan terletak pada bagaimana cara mengungkapkan karya sastra kepada masyarakat melainkan bagaimana masyarakat memiliki keinginan membaca karya sastra.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah dari 8 (seingat saya) model kebutuhan manusia menurut Maslow, karya sastra menempatkan diri di ruang kebutuhan yang mana?

Kebutuhan: segala sesuatu yang bersumber dari hati nurani (yang berbicara dari nurani).
Keinginan: segala sesuatu yang memunculkan motivasi dan tujuan.

Sedangkan nafsu berada di antara keduanya yang disebut daya ekspresi.



kebutuhan => daya ekspresi<=keinginan

daya ekspresi => katarsis


Keinginan berarti menyerap segala yang berbau mekanis. Kebutuhan berarti efektifitas kerja. Dengan kata lain usaha input kecil dan energi yang dihasilkan besar. Untuk mendapatkan usaha input kecil maka perlu merumuskan “yang berbau mekanis” sehingga dihasilkan alat ( daya ekspresi ).

Keinginan merumuskan kesederhanaan adalah ketidaksederhanaan.

Catatan ke 16

Dalam menulis puisi saya telah memilih jalan yang sejajar yaitu kesejajaran antara perasaan dan pikiran. Dengan demikian puisi berada pada kekosongan, tak memihak tetapi berada di antara keduanya. Puisi bagi saya adalah sebuah medan netral, di mana puisi tak menentukan sikap apapun terhadap perasaan dan pikiran, tapi bersedia dipengaruhi oleh yang lain dari keduanya. Yang lain itu saya sebut “jalan pemotongan”. Jalan pemotongan adalah jalan menuju kedewasaan dari perkembangan “saya”. Jalan pemotongan adalah jalan menuju kesiku-sikuan. Meski demikian, yang perlu disadari adalah ketakmungkinan tiba pada kesiku-sikuan tersebut. Yang terjadi adalah usaha mendekatinya sehingga diperoleh nilai lain yang tidak nol. Nilai lain yang tidak nol itulah yang saya sebut “kongkret”.

Catatan ke 15

Bagi saya, puisi adalah intuisi dan bunyi, mencipta kata, membentuk symbol, membentuk bahasanya sendiri, membentuk doa yang ditanam dalam buminya sendiri.

Entitaslah yang membangunkan saya, menggali tanah, menyiringkan kehadiran ke sungai. Mengalir. Tiba ke muara. Aku bukan laut, aku bukan lada. Aku adalah marga.

Bagi saya, puisi adalah “situasi” menuju keseimbangan.

Bandarlampung, 18 Desember 2007

Catatan ke 14

Apakah puisiku telah sampai pada suatu eksplorasi? Puisi tak hanya membutuhkan kata tapi juga intelektualitas penyair terhadap kata itu. Setiap penyair harus menjaga kejujuran pengalaman batinnya karena kejujuran itu akan memperlihatkan apakah kata-kata itu diktonomi peran atau tidak. Puisi adalah tempat di mana kata menjadi dewasa, tua, punya anak-cucu atau bahkan tempat di mana kita terluka – ada yang dikorbankan. Kata mungkin saja mati muda karena mungkin tak mampu bertahan dalam ruang bersuhu panas atau dingin, tak sanggup menahan lapar berhari-hari, atau diracuni dalam suatu ruang bernama tema.

Berpuisi, bagiku, adalah semacam bercerita kepada diri sendiri.

Rabu, 4 Juli 2007

Catatan ke 13

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kita tidak mungkin jatuh, jika kau belum yakin terhentak oleh sesuatu. Sejak awal kau selalu yakin kau adalah orang yang berhasil dalam proses pendidikan. Dan memang begitulah adanya. Pendidikan berlaku kepada setiap orang selama seumur hidup – sampai ke liang lahat. Dan pendidikan terakhirmu adalah saat hembusan terakhir nafasmu – yang mungkin juga …. Dan di saat itulah, mungkin, kita akan tahu pendidikan sebenarnya. Rahasia. Dan tetap rahasia.

Aku selalu berusaha untuk tak menangis di hadapan orang lain. Menahan. Dan terus menahan. Hidup juga kegiatan belajar menahan nafas. Menurutku, memang begitulah. Itulah sebabnya, menahan tangis ternyata lebih hidup. Kita adalah bagian orang lain. Tapi, kehidupan, apakah diciptakan untuk menangis. Memang begitulah takdirnya. Karena kau,tak akan mengerti kebahagiaan itu, jika kau tak membangunnya dengan kesedihan. “Hidup hanyalah menunda kekalahan.”

Aku juga tak pernah mengerti. Kau selalu saja sadar setelah melakukan kesalahan. Namun, untuk kau selalu yakin, kau benar melakukan kesalahan. Mungkin, disitulah kemenanganmu, tahu kebenaran setelah melakukan kesalahan.

Setiap orang telah diberi waktu hidup dan mungkin telah menyepakatinya. Tentu menyepakati. Jadi, juga tidak tepat kita mengejar waktu ataupun waktu yang selalu mengejar-ngejar kita sehingga kita berlari terbirit-birit. Waktu adalah kita, kehidupan ini juga bagian dari waktu. Dia mungkin juga orang tuamu, yang selalu menasehatimu untuk menjadi anak yang soleh dan tekun belajar, kadang keduanya memarahimu, karena kau tak mau nurut, “bapak, emak, bukan maksudku, aku belum mengerti. Mungkin aku harus terluka, jatuh dari sepeda, patah kaki, atau kehilangan kalian untuk selamanya.
19 Juni 2007

Catatan ke 12

Maka jelaslah, di tengah gemuruh perkembangan abad, memang tidak semua penyair selalu jernih berfain dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

Catatan ke 11

Insaflah, puisi tidak akan memberimu harta benda, tapi dengan puisi kau tahu perjalananmu. Tidak akan semudah itu kepenyairan dalam dirimu dewasa begitu saja – kau harus memberikan pendidikan yang cukup pada dirinya; ajarkan kesabaran – artinya kau harus sabar.

Puisi adalah cerminan dari kejujuran, kesabaran, dan kenangan dalam dirimu.

18 Maret 2007

Catatan ke 10

Puisi berasal dari pengembangan dan perenungannya – bukan diam di tempat.

16 Maret 2007

Catatan ke 9

Kesalahan tetaplah kesalahan. Tetapi dia sangat berarti untuk nilai-nilai kebenaran yang digapai.

9 Maret 2007

Catatan ke 8

Penyair itu diciptakan bukan dibuat. Begitupula kata. Kata tercipta bukan dibuat-buat (dalam konteks asal kata). Dari sinilah dapat kita lihat keber’Ada’an tuhan dalam mewujudkan eksistensi kita sebagai manusia. Bahasa membuat kita saling mengerti dan juga membuat kita tak saling mengerti. Karena kata punya pengalaman – kita punya pengalaman – namun berbeda. Kita yang harus mencari tahu, bukan kata mencari tahu tentang keinginan kita. Kita yang harus mengerti kata – dia bebas sukma. Kata adalah kata itu sendiri.

Dengan kata kita tahu “gelas” adalah gelas, “meja” adalah meja, “kursi” adalah kursi. Namun darimana kata “gelas”, ‘meja”, “kursi”? dari hurufkah? Dari suarakah?

7 Maret 2007

Catatan ke 7

Kekuatan puisi bukanlah pada imajinasi, tapi keutuhan teks, sedangkan teks tersusun atas kata-kata membentuk makna – utuh, “gali dan gali lebih dalam lagi!”

Catatan ke 6

Siap saya? Saya sendiri tidak tahu. Apalagi cinta, cinta pada siapa? Kesombongan yang kau agungkan, berdalih sebagai orang yang sok sibuk – atau kau sedang berusaha menemukan sesuatu; atau tak sengaja menemukan karena tuhan menunjukkan jalan? Yang jelas, aku sendiri belum mampu mengurus diri sendiri, mencoba mengurus orang lain – hanya orang gila yang melakukan itu. Setaraf itukah?

Hei! Kau terlambat hari ini. itu kenyataan yang terjadi. Kau pun tak diizinkan masuk. Inilah bentuk keformalan itu. Apakah kau tak terima? Mengapa kau memasuki dunianya? Aku ingin belajar! Hanya itu. Maka hari ini adalah suatu pelajaran.

16 November 2006

Catatan ke 5

Ada kalanya tugas yang sangat banyak harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tidak ada alasan untuk tidak diselesaikan. Kita harus cerdas dan cerdik dalam menanggapi aturan-aturan dan masalah. Antisipasi terhadap sesuatu adalah hal yang sangat baik.

4 Desember 2006

Catatan ke 4

Benar bahwa, kecerdasan pikiran sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Pemikiran yang cerdas adalah pemikiran yang tidak bertentangan dengan kata hatinya. Namun hati yang hakikatnya bersih memiliki tingkat yang berbeda pada setiap manusia. Apa yang mempengaruhi? Tentu ketuhananlah yang menentukan, ibadah sesuai dengan ajaran yang dianut. Suatu hal yang sesungguhnya bersifat mengikat, namun sangat halus ikatannya. Siapa yang mampu merasakan ikatan itu? Takwa. Ketakwaanlah yang mampu merasakan itu semua. Sedangkan ketakwaan dapat dicapai oleh seorang insan dengan tahapan pencapaian.

Biji => madia tanam => tumbuh dan berkembang=> menghasilkan buah.

30 Oktober 2006

RUMAH DI ATAS SAMADENGAN

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah,
dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami
tidak punya lagi banyak kata.

Oky Sanjaya

FRAGMAN PEMBUNUHAN BALITA

kita sedang tidak ingin menitipkan sesuatu, kepadamu. Tapi
berjalan seperti biasa. Seperti tidak ada sisa. Aku percaya,
kau akan mengerti, aku telah menunggu sejak tadi.

maka berangkatlah lelaki itu ke arah utara memasuki lorong-lorong
sempit dan bau parit. Rumah yang juga berderet sempit. Seperti
tempat muara penyakit.

yang menggenang di sana adalah udara, pertanda kau telah tiba.

seketika ditancapkannya masker pelindung hidung, menyemprotkan
semacam asap ke setiap pintu-pintu warga. Menilik dan berbalik
jika pertanda di serang dari belakang. Dan tak disangka pada ke
sekian menilik dan berbalik dijumpainya balita, mengeluarkan
air mata, dan pingsan setelah memandangnya. Sejenak. Lelaki itu
terpana.

“apakah yang aku lakukan tadi termasuk berjaga-jaga,” katanya

ia pun mendadak alpa pada tugas yang diberikan kepadanya.

digendongnya balita sebelum akhirnya tutup usia.

Oky Sanjaya

Balin Cakha

mulani kita putungga
kekalau tunai alamat ni cawa
sekhadu sinji
busekhah sikindua
jama sai kuasa
mak balak ga

Lapah Kata

api sai makkung nikham keni jama sai telibas
yadolah api sai semula balin dicakha kita khua.
pujama kita cuba moloh macok api sai layak ti uculko
duccuk. Uyak ni kedua.

Cekhabbus

Sanak sai : “tuhan, nyak mak haga mati, nyak haga mandi.”
Tuhan : “semahamu cekhabbus, tegagguk di batu kali.”
Malaikat : “khappa aji, tuhan? Ticabut?”
Tuhan : “khadu, nukhut ko khaya kehagani sanak.”
Sanak sai : “makasih tuhan yu, uttung wat niku.”

“lailahaillolloh, muhammadarrasululloh.”
sanak sai mak kimanan lagi, cekhabbus luwot.
nah, tipandi.

Lehot

nai, ki kanahni, niku jadi batang balak,
dang gelukga sakkah. Lamon ko pai buahmu.
nan mingan tisani bibit. Sumang ko pai sai,
pakai penganikku. Ki mak sappai kanah ni
di umurku, api si sepatutni ti sippon, dang sappai
ngebusuk. Tikanik. Tibibit. Hinno khaya,

Mindai

cik kaliccik
sapa haga mindai
ija tiwat kaliccik
cik kaliccik
sapa haga mindai
dang lainlain kicik

cik cecikhik
hinji lain timbunan
hinji lain sangkaan
mula dikicik-kicik
kokkoh pekhada bulipang

cik cecikhik
guk tegukguk
di hionni kicik
lapah kita tengangguk

ngangguk kidah, pun!
dipa kidah, kaliccik!

Tanoh

tanoh niku tanoh
tanoh pikha ngolloh
tanoh di pacul – sabah
tanoh di pacul – tekhah

tanoh niku tanoh
tanoh pikha uyak
tanoh di pacul – dakhak
tanoh di pacul – bekhak

tanoh niku tanoh
pikha di niku sabah
pikha di niku tekhah

pikha di niku dakhak
pikha di niku bekhak

tanoh di pikha ngolloh
lijung kita bulipang tuoh
tanoh di pikha uyak
lijung kita mid dunggak

Kisah Sanak Sai

sanak sai lelijung kundang
sanak sai mak lepas haga
nengisko Pekhmata Dilom Kaca

di awalni musik hinjilah awal cekhita
sanak sai mak kelatta
sanak sai mulai ngebilang, ngehitung di mata lima

“ayo kucakh lagi. Dang beni ga mekhok salok.
kanah tiwat jak tepi. Api cawaku. Mata lima, bang.
pak mak tiga sekurung. Labas khua ngecandung.”

(kuliak kupu suluh. Mata lima selesai tiunduh.)

sanak sai mulai nambah takhuhan
lelok di uccuk sayang

Bandung Lamban

lambanku, lamban banjakh batin
lamban tuha, sai nutuk sai tetuha

lambanku, lamban banjakh maghga
sai siaga, bupenah nutukan cawa
tuha di ucuk landi
nyakhung di ucuk janji

lambanku, lamban kita khua, Yuliya
lamban awal bulabuh;
mak kekhajja, mak mingan unduh
lamban kita khua, Yuliya;
genok pai api sai kita puh

lamban kita, lamban long khik abang
lamban tutuk adok
lamban guway kanah di kuti khompok
lain hak lelijungan; lain hak bulipang kakan

lambanmu, kahut, piyu sappai mit cukut
handap jak dunia maut, mehaccing di basoh teling.

di tetihang kelubang, wat pokok penyambung lamban
bulan kebilang bulan, mak asal nyikak awi
mak kukuh kanah tisani khesi


lambanku, lamban di kita hippun, puakhi
di setiap tayuh, wat selipok lambang sari
di kepitu khani, wat setundun-tundun putti

“api guwaymu, jong?”

di tukku, ngatukh hengasni apuy.
di kudan lamban, ngatukh kakanni jawan.

“hinji kidah, uppu, nyani lubang tatengah cucukh.”

“nangon hinno guwayni babbai tuha.”

“nangon makung keculuk-an sawwa. Induh ki ngelubang hawa.”

“ki hinno khadu ngekhatti sikam kajong, mingan mak ti taway lagi.”

“acak kidah mak ngebambang lagi?”

di tiwatni cucukh, putukni cawa.
senangun metokh, wuy, gula kelapa.
senangun taboh, wuy, di uccuk ni ma.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.