SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Juni 2010

Catatan ke 23

Suatu hari, dimana kami, mempertimbangkan kembali akar. Suatu hari – kondisi telah menentukan takdir kami secara alami; law of nature. Suatu hari sastra, yang dipertimbangkan secara estetispun. Sesungguhnya landasan “pengetahuan”. Kita bergerak “mengetahui”. Sastra adalah upaya membicarakan law of nature. Jangan terjebak dengan pemahaman ini!

17  Juni 2010

Catatan ke 22

Apa yang kuat; adalah sebuah momentum.
Apa yang tumbang; adalah sebuah momentum.
Yang kekal adalah bakal.

Kampung Baru, Bandarlampung, 13 Juni 2010

Pohon Tumbang dan Catatan ke 21

Pohon Tumbang

catatan-catatan tentang akar yang telah tak kuat menahan beban; batang, dahan, ranting, daun – dan musim berbunga – dan musim berbuah; ketika kita telah berjarak dengan cuaca yang akut di kulit mereka.

o.s.

bandarlampung, 31 Mei 2010


Catatan ke 21

Sandal yang besar, sandal yang menghargai akarnya.

Saudaraku, tidak ada akar yang kuat dari setiap pohon. Kekuatan adalah diam. Sedangkan akar –bergerak. Akar mencari. Mencari hara. Akar menggali – terus ke dalam bumi. Demi batang, dahan, ranting, daun, dan capung yang sedang bercinta itu. Selama hidupnya akar tak pernah berhenti mencari.

Bangsa yang besar, bangsa yang menghargai akarnya.

Catatan ke 20

Menulis puisi adalah menulis “sesuatu” yang ingin dikomunikasikkan. Ada seorang kawan, dulu, menyatakan ini kepadaku, “Aku belum bisa membaca puisimu saat ini, sesuatu yang sulbim.” Hampir empat tahun. Dan aku baru menyadari bahwa kita telah melupan fenomena penting hidup kita. Resonansi: inilah sesuatu yang kita anggap universal itu.

Kampung Baru, 14 April 2010

Catatan ke 19

Jika menginginkan pembaca manusiawi, penulis harus manusiawi.

Catatan ke 18

Puisi yang universal hanya mungkin kontekstual apabila puisi telah menempatkan dirinya sebagai garis potong kemanusiaan. Dengan demikian, dalam menentukan persamaan-persamaan garis puisi dibutuhkan ketajaman persepsi penyair (ket: dalam mempersepsikan sensasi, penyair, berupaya menempatkan puisi pada haknya sebagai sentral ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan terikat waktu; rekonstruksi sensasi, tak ayal lagi puisi apapun bersifat kontekstual. Puisi mengkongkritkan persepsi, dan sebermula adalah sensasi.

Catatan ke 17

Persoalan aksiologi dalam karya sastra bukan terletak pada bagaimana cara mengungkapkan karya sastra kepada masyarakat melainkan bagaimana masyarakat memiliki keinginan membaca karya sastra.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah dari 8 (seingat saya) model kebutuhan manusia menurut Maslow, karya sastra menempatkan diri di ruang kebutuhan yang mana?

Kebutuhan: segala sesuatu yang bersumber dari hati nurani (yang berbicara dari nurani).
Keinginan: segala sesuatu yang memunculkan motivasi dan tujuan.

Sedangkan nafsu berada di antara keduanya yang disebut daya ekspresi.



kebutuhan => daya ekspresi<=keinginan

daya ekspresi => katarsis


Keinginan berarti menyerap segala yang berbau mekanis. Kebutuhan berarti efektifitas kerja. Dengan kata lain usaha input kecil dan energi yang dihasilkan besar. Untuk mendapatkan usaha input kecil maka perlu merumuskan “yang berbau mekanis” sehingga dihasilkan alat ( daya ekspresi ).

Keinginan merumuskan kesederhanaan adalah ketidaksederhanaan.

Catatan ke 16

Dalam menulis puisi saya telah memilih jalan yang sejajar yaitu kesejajaran antara perasaan dan pikiran. Dengan demikian puisi berada pada kekosongan, tak memihak tetapi berada di antara keduanya. Puisi bagi saya adalah sebuah medan netral, di mana puisi tak menentukan sikap apapun terhadap perasaan dan pikiran, tapi bersedia dipengaruhi oleh yang lain dari keduanya. Yang lain itu saya sebut “jalan pemotongan”. Jalan pemotongan adalah jalan menuju kedewasaan dari perkembangan “saya”. Jalan pemotongan adalah jalan menuju kesiku-sikuan. Meski demikian, yang perlu disadari adalah ketakmungkinan tiba pada kesiku-sikuan tersebut. Yang terjadi adalah usaha mendekatinya sehingga diperoleh nilai lain yang tidak nol. Nilai lain yang tidak nol itulah yang saya sebut “kongkret”.

Catatan ke 15

Bagi saya, puisi adalah intuisi dan bunyi, mencipta kata, membentuk symbol, membentuk bahasanya sendiri, membentuk doa yang ditanam dalam buminya sendiri.

Entitaslah yang membangunkan saya, menggali tanah, menyiringkan kehadiran ke sungai. Mengalir. Tiba ke muara. Aku bukan laut, aku bukan lada. Aku adalah marga.

Bagi saya, puisi adalah “situasi” menuju keseimbangan.

Bandarlampung, 18 Desember 2007

Catatan ke 14

Apakah puisiku telah sampai pada suatu eksplorasi? Puisi tak hanya membutuhkan kata tapi juga intelektualitas penyair terhadap kata itu. Setiap penyair harus menjaga kejujuran pengalaman batinnya karena kejujuran itu akan memperlihatkan apakah kata-kata itu diktonomi peran atau tidak. Puisi adalah tempat di mana kata menjadi dewasa, tua, punya anak-cucu atau bahkan tempat di mana kita terluka – ada yang dikorbankan. Kata mungkin saja mati muda karena mungkin tak mampu bertahan dalam ruang bersuhu panas atau dingin, tak sanggup menahan lapar berhari-hari, atau diracuni dalam suatu ruang bernama tema.

Berpuisi, bagiku, adalah semacam bercerita kepada diri sendiri.

Rabu, 4 Juli 2007

Catatan ke 13

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kita tidak mungkin jatuh, jika kau belum yakin terhentak oleh sesuatu. Sejak awal kau selalu yakin kau adalah orang yang berhasil dalam proses pendidikan. Dan memang begitulah adanya. Pendidikan berlaku kepada setiap orang selama seumur hidup – sampai ke liang lahat. Dan pendidikan terakhirmu adalah saat hembusan terakhir nafasmu – yang mungkin juga …. Dan di saat itulah, mungkin, kita akan tahu pendidikan sebenarnya. Rahasia. Dan tetap rahasia.

Aku selalu berusaha untuk tak menangis di hadapan orang lain. Menahan. Dan terus menahan. Hidup juga kegiatan belajar menahan nafas. Menurutku, memang begitulah. Itulah sebabnya, menahan tangis ternyata lebih hidup. Kita adalah bagian orang lain. Tapi, kehidupan, apakah diciptakan untuk menangis. Memang begitulah takdirnya. Karena kau,tak akan mengerti kebahagiaan itu, jika kau tak membangunnya dengan kesedihan. “Hidup hanyalah menunda kekalahan.”

Aku juga tak pernah mengerti. Kau selalu saja sadar setelah melakukan kesalahan. Namun, untuk kau selalu yakin, kau benar melakukan kesalahan. Mungkin, disitulah kemenanganmu, tahu kebenaran setelah melakukan kesalahan.

Setiap orang telah diberi waktu hidup dan mungkin telah menyepakatinya. Tentu menyepakati. Jadi, juga tidak tepat kita mengejar waktu ataupun waktu yang selalu mengejar-ngejar kita sehingga kita berlari terbirit-birit. Waktu adalah kita, kehidupan ini juga bagian dari waktu. Dia mungkin juga orang tuamu, yang selalu menasehatimu untuk menjadi anak yang soleh dan tekun belajar, kadang keduanya memarahimu, karena kau tak mau nurut, “bapak, emak, bukan maksudku, aku belum mengerti. Mungkin aku harus terluka, jatuh dari sepeda, patah kaki, atau kehilangan kalian untuk selamanya.
19 Juni 2007

Catatan ke 12

Maka jelaslah, di tengah gemuruh perkembangan abad, memang tidak semua penyair selalu jernih berfain dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

Catatan ke 11

Insaflah, puisi tidak akan memberimu harta benda, tapi dengan puisi kau tahu perjalananmu. Tidak akan semudah itu kepenyairan dalam dirimu dewasa begitu saja – kau harus memberikan pendidikan yang cukup pada dirinya; ajarkan kesabaran – artinya kau harus sabar.

Puisi adalah cerminan dari kejujuran, kesabaran, dan kenangan dalam dirimu.

18 Maret 2007

Catatan ke 10

Puisi berasal dari pengembangan dan perenungannya – bukan diam di tempat.

16 Maret 2007

Catatan ke 9

Kesalahan tetaplah kesalahan. Tetapi dia sangat berarti untuk nilai-nilai kebenaran yang digapai.

9 Maret 2007

Catatan ke 8

Penyair itu diciptakan bukan dibuat. Begitupula kata. Kata tercipta bukan dibuat-buat (dalam konteks asal kata). Dari sinilah dapat kita lihat keber’Ada’an tuhan dalam mewujudkan eksistensi kita sebagai manusia. Bahasa membuat kita saling mengerti dan juga membuat kita tak saling mengerti. Karena kata punya pengalaman – kita punya pengalaman – namun berbeda. Kita yang harus mencari tahu, bukan kata mencari tahu tentang keinginan kita. Kita yang harus mengerti kata – dia bebas sukma. Kata adalah kata itu sendiri.

Dengan kata kita tahu “gelas” adalah gelas, “meja” adalah meja, “kursi” adalah kursi. Namun darimana kata “gelas”, ‘meja”, “kursi”? dari hurufkah? Dari suarakah?

7 Maret 2007

Catatan ke 7

Kekuatan puisi bukanlah pada imajinasi, tapi keutuhan teks, sedangkan teks tersusun atas kata-kata membentuk makna – utuh, “gali dan gali lebih dalam lagi!”

Catatan ke 6

Siap saya? Saya sendiri tidak tahu. Apalagi cinta, cinta pada siapa? Kesombongan yang kau agungkan, berdalih sebagai orang yang sok sibuk – atau kau sedang berusaha menemukan sesuatu; atau tak sengaja menemukan karena tuhan menunjukkan jalan? Yang jelas, aku sendiri belum mampu mengurus diri sendiri, mencoba mengurus orang lain – hanya orang gila yang melakukan itu. Setaraf itukah?

Hei! Kau terlambat hari ini. itu kenyataan yang terjadi. Kau pun tak diizinkan masuk. Inilah bentuk keformalan itu. Apakah kau tak terima? Mengapa kau memasuki dunianya? Aku ingin belajar! Hanya itu. Maka hari ini adalah suatu pelajaran.

16 November 2006

Catatan ke 5

Ada kalanya tugas yang sangat banyak harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tidak ada alasan untuk tidak diselesaikan. Kita harus cerdas dan cerdik dalam menanggapi aturan-aturan dan masalah. Antisipasi terhadap sesuatu adalah hal yang sangat baik.

4 Desember 2006

Catatan ke 4

Benar bahwa, kecerdasan pikiran sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosional. Pemikiran yang cerdas adalah pemikiran yang tidak bertentangan dengan kata hatinya. Namun hati yang hakikatnya bersih memiliki tingkat yang berbeda pada setiap manusia. Apa yang mempengaruhi? Tentu ketuhananlah yang menentukan, ibadah sesuai dengan ajaran yang dianut. Suatu hal yang sesungguhnya bersifat mengikat, namun sangat halus ikatannya. Siapa yang mampu merasakan ikatan itu? Takwa. Ketakwaanlah yang mampu merasakan itu semua. Sedangkan ketakwaan dapat dicapai oleh seorang insan dengan tahapan pencapaian.

Biji => madia tanam => tumbuh dan berkembang=> menghasilkan buah.

30 Oktober 2006

RUMAH DI ATAS SAMADENGAN

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah,
dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami
tidak punya lagi banyak kata.

Oky Sanjaya

FRAGMAN PEMBUNUHAN BALITA

kita sedang tidak ingin menitipkan sesuatu, kepadamu. Tapi
berjalan seperti biasa. Seperti tidak ada sisa. Aku percaya,
kau akan mengerti, aku telah menunggu sejak tadi.

maka berangkatlah lelaki itu ke arah utara memasuki lorong-lorong
sempit dan bau parit. Rumah yang juga berderet sempit. Seperti
tempat muara penyakit.

yang menggenang di sana adalah udara, pertanda kau telah tiba.

seketika ditancapkannya masker pelindung hidung, menyemprotkan
semacam asap ke setiap pintu-pintu warga. Menilik dan berbalik
jika pertanda di serang dari belakang. Dan tak disangka pada ke
sekian menilik dan berbalik dijumpainya balita, mengeluarkan
air mata, dan pingsan setelah memandangnya. Sejenak. Lelaki itu
terpana.

“apakah yang aku lakukan tadi termasuk berjaga-jaga,” katanya

ia pun mendadak alpa pada tugas yang diberikan kepadanya.

digendongnya balita sebelum akhirnya tutup usia.

Oky Sanjaya

Balin Cakha

mulani kita putungga
kekalau tunai alamat ni cawa
sekhadu sinji
busekhah sikindua
jama sai kuasa
mak balak ga

Lapah Kata

api sai makkung nikham keni jama sai telibas
yadolah api sai semula balin dicakha kita khua.
pujama kita cuba moloh macok api sai layak ti uculko
duccuk. Uyak ni kedua.

Cekhabbus

Sanak sai : “tuhan, nyak mak haga mati, nyak haga mandi.”
Tuhan : “semahamu cekhabbus, tegagguk di batu kali.”
Malaikat : “khappa aji, tuhan? Ticabut?”
Tuhan : “khadu, nukhut ko khaya kehagani sanak.”
Sanak sai : “makasih tuhan yu, uttung wat niku.”

“lailahaillolloh, muhammadarrasululloh.”
sanak sai mak kimanan lagi, cekhabbus luwot.
nah, tipandi.

Lehot

nai, ki kanahni, niku jadi batang balak,
dang gelukga sakkah. Lamon ko pai buahmu.
nan mingan tisani bibit. Sumang ko pai sai,
pakai penganikku. Ki mak sappai kanah ni
di umurku, api si sepatutni ti sippon, dang sappai
ngebusuk. Tikanik. Tibibit. Hinno khaya,

Mindai

cik kaliccik
sapa haga mindai
ija tiwat kaliccik
cik kaliccik
sapa haga mindai
dang lainlain kicik

cik cecikhik
hinji lain timbunan
hinji lain sangkaan
mula dikicik-kicik
kokkoh pekhada bulipang

cik cecikhik
guk tegukguk
di hionni kicik
lapah kita tengangguk

ngangguk kidah, pun!
dipa kidah, kaliccik!

Tanoh

tanoh niku tanoh
tanoh pikha ngolloh
tanoh di pacul – sabah
tanoh di pacul – tekhah

tanoh niku tanoh
tanoh pikha uyak
tanoh di pacul – dakhak
tanoh di pacul – bekhak

tanoh niku tanoh
pikha di niku sabah
pikha di niku tekhah

pikha di niku dakhak
pikha di niku bekhak

tanoh di pikha ngolloh
lijung kita bulipang tuoh
tanoh di pikha uyak
lijung kita mid dunggak

Kisah Sanak Sai

sanak sai lelijung kundang
sanak sai mak lepas haga
nengisko Pekhmata Dilom Kaca

di awalni musik hinjilah awal cekhita
sanak sai mak kelatta
sanak sai mulai ngebilang, ngehitung di mata lima

“ayo kucakh lagi. Dang beni ga mekhok salok.
kanah tiwat jak tepi. Api cawaku. Mata lima, bang.
pak mak tiga sekurung. Labas khua ngecandung.”

(kuliak kupu suluh. Mata lima selesai tiunduh.)

sanak sai mulai nambah takhuhan
lelok di uccuk sayang

Bandung Lamban

lambanku, lamban banjakh batin
lamban tuha, sai nutuk sai tetuha

lambanku, lamban banjakh maghga
sai siaga, bupenah nutukan cawa
tuha di ucuk landi
nyakhung di ucuk janji

lambanku, lamban kita khua, Yuliya
lamban awal bulabuh;
mak kekhajja, mak mingan unduh
lamban kita khua, Yuliya;
genok pai api sai kita puh

lamban kita, lamban long khik abang
lamban tutuk adok
lamban guway kanah di kuti khompok
lain hak lelijungan; lain hak bulipang kakan

lambanmu, kahut, piyu sappai mit cukut
handap jak dunia maut, mehaccing di basoh teling.

di tetihang kelubang, wat pokok penyambung lamban
bulan kebilang bulan, mak asal nyikak awi
mak kukuh kanah tisani khesi


lambanku, lamban di kita hippun, puakhi
di setiap tayuh, wat selipok lambang sari
di kepitu khani, wat setundun-tundun putti

“api guwaymu, jong?”

di tukku, ngatukh hengasni apuy.
di kudan lamban, ngatukh kakanni jawan.

“hinji kidah, uppu, nyani lubang tatengah cucukh.”

“nangon hinno guwayni babbai tuha.”

“nangon makung keculuk-an sawwa. Induh ki ngelubang hawa.”

“ki hinno khadu ngekhatti sikam kajong, mingan mak ti taway lagi.”

“acak kidah mak ngebambang lagi?”

di tiwatni cucukh, putukni cawa.
senangun metokh, wuy, gula kelapa.
senangun taboh, wuy, di uccuk ni ma.

Hippun Cekhamma

Selamat debingi jama kita sai lagi pujama
Selamat debingi jama kita sai mak setakhu kecewa
Selamat ngelawan kicak sai lagi puhamma
Selamat ngelawan agas sai mahas-mahas di uyak sikindua.

Maka, kekalau selesai, kahut ni bahasa
Kekalau togok ni guwai cekhamma
Way di bolok awi
Mak bakal tekas lagi.

Kidang, lain sikindua maksud bupatoh ni ma
Kidang, wat sai mak mingan tekas jak kekhajja di lamban
Payu sikindua nutuk togokni guway
Kidang ngehapun jama sunyinni sai wat di kelasa;
Mak mingan nukhut hagani hippun.

Tunai ko khaya guwai sikindua di lamban
Nikham pekhadda ngekhati
Wat awi sai mingan ti tattai;
Wat sai busuya ditogokni guwai.

Maka, ki khanno kidah ni bahasa
Khanno munih selesai ni hippun sikindua
Khanno munih kicak di ucuk tihang
Ngekhatti khayalah puakhi.

POPULARITAS SASTRA

Adakah masyarakat kita masyarakat pembaca karya sastra?

Beberapa waktu lalu, dalam media yang sama, seorang esais kita kembali “tergoda” menyinggung apa dan bagaimana karya sastra memposisikan dirinya di masyarakat. Secara definitif (boleh dikatakan) masyarakat yang jauh dari dunia kepenulisan serius karya sastra. Karya yang baru terbaca setelah digembar-gemborkan isi “ceritanya”. Sehingga karya sastra tersebut menjadi populer dikalangan konsumen yang kurang menyukai bacaan-bacaan sastra. Karya sastra ini pada akhirnya mengalami persoalan pelik para pembaca; baik awam maupun suntuk.

Ketika karya sastra itu dinilai, muncul dua garis yang bersilangan dan keduanya sama kuat. Yang satu menggolongkannya sebagai karya sastra populer dan yang lain memposisikannya sebagai karya bukan sastra. Alasan pertama dinilai dari bangunan metafora kata-katanya. Kita tahu bagian penting dari karya sastra adalah metafora. Maka menurut pendapat pertama karya tersebut mutlak dikatakan karya sastra. Alasan kedua, tentunya, datang dari kalangan pembaca karya sastra secara serius sehingga yang dinilai adalah mutu karya secara estetis. Karena alasan itulah para pendukungnya sependapat bahwa karya tersebut bukan karya sastra meski bermetafora.

Hal yang krusial seperti masalah ekonomi provinsi saat ini, karya “sastra” tersebut tidak begitu dibawa serius ke sidang persoalan tetapi diambil jalan tengah atau yang identik kita sebut sebagai karya “sastra populer”.

Adakah karya sastra populer?

Kalangan yang tidak mau ambil pusing ini menganggap ada hal praktis yang perlu diselesaikan layaknya persoalan mutu pendidikan kita saat ini. “Persoalan sastra perlu mendapat tindakan cepat,” begitu katanya. Dan justru persoalan ini kembali melambung – meski ini baru indikasi. Kenyataannya sastra tentu merupakan persoalan serius karena merupakan persoalan kemanusian. Karena persoalan kemanusian maka persoalan ini merupakan persoalan musiman.

Dengan demikian, tak salah, bila akhirnya toko-toko buku banyak menjajakan buku-buku sastra yang diterbitkan dengan tema musiman. Bila hari A musim durian maka kita akan banyak mengangkat persoalan sekitar durian itu. Sebentar lagi musim duku, kita pun, berancang-ancang dengan tema sekitar duku. Kemanakah persoalan “universal” itu?

Kita, nampaknya, tak perlu kuatir. Persoalan universal tersebut mendapat pengejawantahannya dalam puisi-puisi gugur daun dan tunas merambat. Sesekali selesai dengan silsilah pohon, silsilah sungai, silsilah tanah, silsilah rumah, dan sampai juga pada batu yang paling purba. Akhirnya aku dibawa antara surga dan neraka. Dibawa antara mitos dan realitas. Itulah poesi, katanya. Tak terjebak pada mitos meski yang dia tulis adalah mitologi. Kekitaan tidak terjebak dalam kekinian. Karena puisi (seni itu sendiri) luput dari waktu.

Adakah waktu dalam karya sastra kita?

Sebenarnya inilah yang keliru kita persoalkan dari puisi yang menginjak di bumi sampai pusi yang gagal menginjak di mars. Yang universil itu tidak terletak pada persoalan waktu. Tapi meniadakan titik acuan.

Seperti persoalan energi pada masa mekanika klasik, Albert Enstein, menjadi populer justru bukan karena konstribusinya dalam menjelaskan efek foto listrik tetapi terletak pada “relatif” dalam acuan. Tidak ada acuan baku. Semuanya relatif. Baik dan buruk itu relatif. Padahal pada keadaan demikian Enstein tetap membutuhkan konstanta.

Adakah konstanta dalam sastra?

Enstein memiliki pamungkas. Bagaimana dengan kesusastraan kita?

Jika kita mengamati kembali tentang apa dan siapa ilmu pengetahuan, kita akan menemukan bahwa cabang-cabang ilmu yang berhasil dibelajarkan adalah ilmu yang dalam perkembangannya saling berkaitan, saling melengkapi, dan saling menghargai, bahkan teori saat ini dapat dibuktikan dengan teori sebelumnya.

Adakah tokoh dan penemu dalam sastra?

Sejalan dengan pertanyaan di atas, kita pada akhirnya menggolongkan mana yang dikategorikan sebagai sastrawan dan mana yang akademisi sastra. Sebagai satrawan dia akan berhubungan langsung dan berempati – merefleksikan realitas kehidupan masyarakat secara subjektif bukan kolektif sedangkan para akademisi sastra akan menyusunnya secara kolektif sehingga berada dalam bab-bab. Kenyataan inilah yang mempersoalkan kembali “seni untuk seni”.

Adakah sastra sebagai ilmu?

“Surga “ setelah mempertahankan tanda-tanda dan sedikit tentangku; untukku

527
“Surga” setelah mempertahankan tanda-tanda dan sedikit tentangku;
untukku dan sedikit tentangku;
Kapan-kapan, aku berfikir bahwa tengah hari
Kecuali sebuah simbol disuatu tempat dan sedikit tentangku;
Dan saat kembali, ke Fajar,

Melihat sebuah kekuatan bergegas dari bulat dunia
Dan berhinggapan di perbukitan dan sedikit tentangku;
An Awe jika itu semestinya disukai bahwa
Berlangsungnya kebodohan perampasan dan sedikit tentangku;

Kebun buah, ketika matahari berada di atas dan sedikit tentangku;
Kemenangan burung-burung
Ketika mereka bersama-sama membuat kemenangan dan sedikit tentangku;
Sejumlah awan beriringan dan sedikit tentangku;

Kegembiraan dari selesainya sebuah hari dan sedikit tentangku;
Sedang kembali ke Barat dan sedikit tentangku;
Semua ini dan sedikit tentangku; mengingatkan kita pada suatu tempat
Lelaki itu menamakan “Firdaus” dan sedikit tentangku;

Diri mengadili dan sedikit tentangku; kita mengira dan sedikit tentangku;
Tetapi bagaimana kita pribadi, akankah
Menghiasi, untuk seorang pengasih dan sedikit tentangku;
Belum tentu, mata kita dapat melihat dan sedikit tentangku;

Emily Dickinson (terjemahan bebas Oky Sanjaya)

“Kepercayaan” adalah penemuan terbaik

185
“Kepercayaan” adalah penemuan terbaik
Ketika lelaki melihat dan sedikit tentangku;
Tetapi mikroskop-mikroskop berhati-hati
Dalam keadaan darurat

Emily Dickinson (terjemahan bebas Oky Sanjaya)

“Arcturus”; nama lain dirinya

70
“Arcturus”; nama lain dirinya dan sedikit tentangku;
Aku lebih menyukai mengatakannya “bintang”
Dalam ilmu pengetahuan, ia sangat bermakna
Untuk pergi dan mencampuri!

Aku membunuh seekor cacing di hari lain dan sedikit tentangku;
Seorang “cendikia” didekatkan oleh
Bisikan “kebangkitan” dan sedikit tentangku; “lipan”!
“Oh tuan dan sedikit tentangku; seberapa lemah kita”!

Aku merenggut satu bunga dari tumpukan kayu dan sedikit tentangku;
Satu monster dengan satu gelas
Berhitung-hitung serbuk-serbuk dalam nafas dan sedikit tentangku;
Dan miliknya di sebuah “kelas”!

Sedangkan aku mengambil kupu-kupu
Suatu waktu di topiku dan sedikit tentangku;
Dia duduk-duduk tegak di “kabinet-kabinet” dan sedikit tentangku;
Membunyikan bel-bel lupa.

Apakah suatu kejadian setelah “surga”
Adalah “puncak” dan sedikit tentangku;
Dimana aku mengusulkan untuk pergi
Ketika waktu adalah telah dilakukannya masquerade singkat
Juga peta dan grafik.

Apakah jika setiap kutub-kutub akan hampir menggeledah
Dan tetap sedang berlangsung bagi kepalanya
Aku yakin aku siap untuk “yang paling buruk” dan sedikit tentangku;
Apapun olok-olok terbuka!

Barangkali “kerajaan dalam surganya” berubah dan sedikit tentangku;
Aku berharap “anak” itu tidak akan menjadi “mode baru” ketika aku menjadi
dan sedikit tentangku;


Aku berharap bapa di langit
Akan mengangkat gadis kecilnya dan sedikit tentangku;
Mode tua dan sedikit tentangku; nakal dan sedikit tentangku; segala sesuatu
dan sedikit tentangku;

Gaya yang berakhir dalam “mutiara.”

Emily Dickinson (terjemahan bebas oleh Oky Sanjaya)

Catatan ke 2

Teori-teori mengenai ilmu pengetahuan alam sebenarnya berasal dari pengetahuan kita tentang alam itu sendiri. Kadangkala, komunikasi atau pembicaraan kita terhadap suatu hal merupakan suatu bahan pertimbangan untuk dipikirkan kembali ke hal yang lebih mendasar sehingga jelas masalah dan ungkapan yang tepat.

19 Oktober 2006

Catatan ke 1

puisi adalah sesuatu yang secara tak terpaksa menyuarakan zamannya, bimbingan zaman berikutnya, dan humanisasi. oleh karena itu, puisi tak terlepas dari pengembangan budaya zamannya ke akhlak mulia.

ada kepaduan ungkap. keterkaitan dalam puisi haruslah kuat. dalam puisi, teks adalah sesuatu yang dituliskan. tidak menyimpang dari yang dibicarakan. sesuatu yang "dijudulkan". ragam yang komplek - kuat. puisi menjelaskan sesuatu peristiwa yang tak sesederhana anggapan. maka kata adalah alat untuk menyampaikan suatu peristiwa secara unik tersebut. jadi alat dalam puisi adalah kata-kata. kata itu rusak atau tidak, bila dengan sadar kita yakini puisi yang kita persiapkan sudah mempersiapkan seluruh alat, sudah lengkap, dan tidak memberatkan - seperti itulah yang dibutuhkan.

19 Oktober 2006

Juru Timbang Satu

( sigma F=0 )

kepalaku pusing, pembaca. Aku memutuskan membeli
1/2 kg jeruk; akan kumakan sendiri dengan lahap.
kusandarkan sepeda motorku; dan bertanya:
"berapa hukuman yang harus kubayarkan
pada jerukmu, aku membutuhkannya 1/2 kg saja?"
lelaki tua itu tidak menggubrisku. Sepertinya
ia teliti sekali menimbang."6000 tahun, pak.";
ia tersenyum denganku. Aku balas senyum juga.
Sudahlah. Dan aku bayar 1000 tahun setelah parkir
di mana saja.

Oky Sanjaya

JURU PENANYA PERTAMA

mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh dariku?

mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?

seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan berjalan kaki saja,
tentu kau tahu jawabanku. Tentu.

Oky Sanjaya

JURU SELAMAT KETIGA

(substitusi)

tapi, kali ini aku tidak dapat begitu lama, bermain-main
dalam kilobyte angka-angka. mataku tak cukup kuat
menahan radiasi. tapi aku tetap menunggu, kau bertanya
kepadaku. sesuatu itu. yang hilang saat kita pejamkan sejenak_
mata diambang kelelahan. Aku tahu, kau, setia untuk
tak mengatakan sesuatu kepadaku. Maka satu variabel saja
yang perlu kau cari bahwa, di antara kilobyte angka-angka itu
ada yang tak sempurna. tapi pasti hasilnya; kau bulatkan saja
sampai empat belakang koma. mungkin dia kata lain dari cinta.

Oky Sanjaya

JURU SELAMAT KEDUA

(gravitasi)

kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan gavitasi. tapi kali ini, dia (mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu. aku bukan orang yang takut dengan ketinggian. seperti yang kau duga sebelumnya. tapi aku memang takut jatuh. semula aku percaya, jika kita tidak terpaksa sedikitpun terjun dari suatu ketinggian; pada saat itulah kita sadar; ketinggian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. tapi sebuah harapan. mungkin juga sebuah 'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu. ketika kau membaca blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara kita, sesunggunya hanyalah sebuah konversi dari kilobyte ketinggian. tak sampai sepuluh meter untuk jatuh.

JURU SELAMAT PERTAMA

(Percepatan)

Kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku. Bantal guling bau pesing” Dan aku, mungkin, baru saja menyelesaikan administrasi. “Anda harus mendaftar jika ingin masuk penjara. Jika anda ada uang, bisa kami percepat”. Anda tahu, sebelum masuk penjara saja, kami harus mengantri. Dua jam, mungkin, dari anda mandi sampai mengentri data lagi.

TIGA VARIABEL YANG TAK TERPISAHKAN

(Jarak, Waktu, dan Kecepatan)

Apa yang terjadi jika anda tidak berjarak denganku? Kita dempet, tentunya. Aku tidak perlu menemuimu. Aku tidak perlu capek, basah kuyup, mutung, haus, kusam, ancur, atau apalah …. Toh, kau, tak berjarak denganku. Tapi kenyataannya kau berjarak denganku. Mungkin pada saat kau membaca blog ini kau berada 100 meter, 1000 meter, atau 10.000 meter dari posisiku. Bisa juga, kau bersebelahan denganku, dari sebuah warung internet (warnet). Dan kita tidak saling tahu. Katanya, “ internet membuat kita tahu jarak dalam kilo byte saja.” Dunia ini bagaikan kertas yang dilipat-lipat. Dulu, kita sering mendengar kata ini: “dunia ini tak selebar daun kelor.” “ke ujung dunia akan kucari.” “Tuntutlah ilmu ke negeri cina.” Dulu sekali, kita menganggap seseorang yang jantan adalah orang yang telah pergi begitu jauh. “Tiada jarak di antara kita.” Kata seseorang.

Toh kenyataannya kita berjarak. Mungkin pada saat kau sedang membaca blogku ini aku sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20 km/jam – “woy lambat amat!” “sabar dulu, baru masukkan gigi satu. Jangan gara-gara prasangka, gigi kita malah ilang satu.” Mungkin aku sedang selamat dari kemacetan lalulintas di Bandarlampung sehingga leluasa aku menancap gas sampai 80 km/jam. Mungkin saja, ketika kau membaca blogku, aku sudah berada dalam penjara, tiga jam dari sign out
blogku.

PERGI DARI RUMAH

mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa yang kelak kau santap
di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu sempurna. Tergantung kita merasakannya. Kau ingin pergi juga? Sebentar lagi senja. Dan rumah-rumah
yang akan kau tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman sepi.
atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras depan.
dasar tak tahu aturan. Orang-orang mengatai kita, bahwa setiap senja,
kita telah tidak setia. Seharusnya kau bicara, pengertian selalu berawal
dari rencana. Setelah senja, kita memilih pergi dari rumah. Beberapa tetangga, melihat-lihat saja.

SANDAL-SANDAL YANG BERGERAK KE ARAH TANYA

;kolastra

pintu gerbang sekolah kembali terbuka, di pagi yang berbeda.
baru saja berbunga, hari-hari lampau, daun-daun beringin berserakan.
apa yang kita ingat dari seorang penjaga kebersihan selain seikat sapu lidi
yang mapan? Di pagi berbeda, di wajah penjaga yang telah kami kenal lama,
tak cukup kami hanya bertanya. Tetapi kadang ingin juga kami bercerita –
tentang kemenangan itu. Tentang air muka kami yang teduh. Tentang teks
kami yang berlabuh. Kau (mungkin) baru pertama kali datang, dan tahu
arti kehilangan. Seperti, – bel yang berbunyi_ kami hening dalam kelas.
jangan lagi kau tendang pintu gerbang. Kau telah telat seperempat jam.
tidurmu yang pulas membuatmu bergegas – kecewa. Dan apa yang berbunyi
di tengah lapangan, bunyimu nanti; tepat dan setia. Setia pada dedaunan
berserakan, rontok sebelum umur. Setelah itu, kita menyatakan sepakat,
pada hujan yang membentur tangkai. Apa pun yang terjadi, tidak boleh ada
yang dilerai. Maka kami memaknai perpisahan sebagai pertentangan.
memaknai penerimaan sebagai harapan. Kau tahu, teman, musuh utama kita
adalah ketakutan. Di akhir cerita kemenangan dan kekalahan.

SANDAL-SANDAL YANG BARU SAJA SELESAI KURAPIHKAN

kawan, jika ada yang salah, kelak, dari perjamuan ini, aku minta maaf.
aku tahu. Kau mungkin ragu-ragu dengan apa yang telah kuucapkan ini.
karena aku, penyair, pantang minta maaf. Aku memang egois.
tapi aku bukan orang yang pesimis – seperti yang kau sangkakan padaku
sejak dulu. Kau juga tahu, aku juga bukan orang yang terlalu optimis.
sekali lagi, aku minta maaf. Aku memang seorang yang skeptis. Aku tidak
terlalu percaya dengan kamus yang kau agungkan itu. Kau buat segalanya sama.
kau buat segalanya taat sama. Di hadapanmu, kali ini, aku sangat tidak setia.
dan kau, boleh menganggapku sebagai noda.

BERJALAN DI ATAS SANDAL PUTUS

mengapa kau bersegera menutup pintu sedangkan pintu
tak bermaksud apa pun kepadaku? Mengapa kau
seperti begitu pengecut menghadapi masalalu sedangkan
aku datang padamu demi cintaku? Pohon-pohon
randu, kapuk yang berterbangan, dan angin berlalu.
sawah, sungai, merajut tali kesih – di rumput, letih –,
mengapa kau bersegera menjauh sedangkan aku
mendekat padamu? Pada rumput jaba kutusuk udang,
pada basah teling tak ada yang berhak berpaling.

RUMAH DI ATAS SAMADENGAN

rumah yang kami bangun di atas sama dengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah,
dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami
tidak punya lagi banyak kata.

SELAGI RAMBUTMU SURUT

lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu;
kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
tak habis-habisnya kita mencari cara.

ATOM

apakah kau masih percaya pada kedudukan angka_ ; yang
telah merepresentasikan kata sehingga kita tertib pada
rumus umumnya? Apakah kau masih percaya_; pada
sifat fisik benda saja sehingga kau berkeliling di kulit, diameter,
dan kemungkinan jari-jarinya? Apakah kau masih percaya_ ;
cinta menyertai kita pada spin yang tetap terjaga? Apakah kau
masih percaya_ ; yang kau representasikan itu adalah kata? Tidak.
karena kata adalah cinta.

RUMAH DI ATAS KERTAS

rumah yang akan kita bangun kelak, dinda, adalah rumah yang dibangun di atas
sebidang kertas. Tanpa halaman, tanpa garis bantu kata-kata. Tanpa penjaga,
tukang kebun, dan perempuan renta. Hanya ada kau dan aku. Hanya ada kita
dan pohon mangga itu; yang kau cita-citakan ingin tumbuh dan dipetik buahnya;
yang kita tambahkan baskom berisi air di bawahnya; yang suatu waktu
merundukkan kita menatap bakalnya. Kita tetap berada di bawahnya.

RUMAH YANG TERTUMPUK

kerja belum selesai. Belum sempat memperhitungkan 4-5 ribu spatula.
memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di dapur. Dan beberapa
aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.


maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang. Tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas dan cap beberapa berkas. Beberapa, di antaranya, ingin lunas. Tunai segala pias. Tuan, ada di rumah? Jam berapa? Besok saja, saya lelah.

maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang, tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman dan jejak perjalanan. Berapa usiamu? sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat aku mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.

maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu, sayang. Tapi jarak. Batas antara halaman, dan ruang tengah lapang.

maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku tamu. Tapi penumpuk pikiran.
biarkan ia bercorak tanda tangan.

tuan, ada di rumah?

RUMAH

-- sandra

1.
kau tahu, mengapa kita perlu selalu mengunci pintu? Supaya tidak ada pencuri masuk, sayangku. Supaya, leluasa, di antara kita, memencet bel. Supaya, seperti pertanda, di antara kita, ada yang perlu berkemas atau bersiap-siap. Sudah ramahkah yang ada di dalam rumah? Seisi tangga, bergerak turun. Seisi tangga, bergerak, berkumpul ke ruang santun. Kau atau aku membuka pintu? Bagaimana kalau kita menelepon dahulu? Seberapa tahu, kau, yang ada di luar pintu? Seberapa mengerti, kita, gerak-gerik lagi, angin, dan bunga-bunga kertas dalam pot, sesuatu yang keras di teras rumah? Seberapa jelas, posisi kita – menolak atau menerima sesuatu kedatangan yang tiba-tiba. menjadikannya tidak tersisa begitu saja. Kau tahu, kita baru saja masuk, baru saja selesai, mencocok-cocokkan kunci mana yang pas dengan pintu rumah kita.

2.
kau yakin tidak ada orang di dalam rumah? Tidak ada sesiapa? Coba kau intip dari
jendela. Jangan kau ketuk-ketuk lagi pintu muka. Belnya mati. Wajar tak terdengar
dari tadi. Kita, kini, yang selayaknya bertanya-tanya. Ini rumah kita, kan?

3.
mengapa, seperti pencuri, pintu selalu diberi kunci, sayangku? Dia selalu terbuka, membiarkan sandal dan kita masuk, membiarkan kita kemudian, berpergian. Mencatat kita, bagian lain dari ruang yang kadang-kadang dingin, kadang-kadang panas meretas. Kau tahu, hujan di hutan, lebih ganas dibandingkan di halaman. Meski keduanya ditumbuhi rerumputan.

4.
kita, sayangku, selalu memaknai penting dinding. Tidak ada dinding, tak tampak batas kita. Tak tampak sudut ruang mana kita berada. Tanpa dinding, pintu pun tak berarti apa-apa. Kunci tentu tak berjumpa dengan manfaatnya. Tanpa dinding, kita kehilangan rasa aman dan nyaman. Kita kehilangan sesuatu yang pantas terbuka. Kita mungkin, takkan membutuhkan lagi jendela. Kita, mungkin, melihat rembulan, bintang-bintang, begitu terbuka. Kita tak membutuhkan tirai tertutup atau menggesernya sedikit saja. Kita tidak membutuhkan mengintip sesiapa di luar jendela. Kita terlampau terbuka. Karena dinding, kita tetap waspada.

karena dinding, pintu tetap menjadikan kita sebagai tamu, sayangku. Yang pelan-pelan mengelak dengan tegur-sapa paling rahasia, dengan tegur-sapa paling kata. sayangku, pintu kita, pintu yang kadang-kadang lupa, kadang-kadang alpa.

ketahuilah, tanpa dinding, rumah baru jadi kerangka.



5.
jangan kau sia-siakan mata untuk menyimpan rahasia. Jauh di dasarnya ada bunga
paling waspada. Kau tahu berapa serangga terkena ranjaunya? Satu di antaranya
adalah cinta.


begitulah pintu, mencatat jejak-jejak yang datang dan pergi, tanpa kecewa. Hanya
memang, sesekali kita mendengar dia menderit. Engselnya yang tak terawat
mungkin juga sudah renta atau salah cara memasangnya. Tapi, ia pintu, sayangku.
kau sempat tersedu kan di tubuhnya? Sesuatu yang datang dan yang pergi, kadang,
begitu saja kita tak berkata-kata kepadanya. Mungkin, karena ia, sementara.

6.
mengapa tak ada lagi pohon di pekarangan rumah? Hanya ada bunga-bunga pagar.
kapan kalian memutuskan untuk menggantikannya dengan yang lebih dapat
terawat? Kau tahu, aku benci semua itu. Meski aku baru saja memikirkannya
dari bingkai pintu.

7.
tapi, dari kata yang tak terucap, tak sepenuhnya terungkap. Apa karena itu
kau mencintaiku? Tidak. Aku mencintaimu karena kau lebih tahu ketimbang
aku, mengapa aku tak mengatakan sesuatupun kepadamu.

pintu telah kubuka dengan melumpuhkan engselnya.

AIR MATA PENA

selesaikanlah semua kerja, termasuk engkau yang tutup usia.
selesaikanlah sampai setitik tanda, termasuk yang mengabarkannya.
selesailah cinta, termasuk yang tak pernah percaya

MEMANJAT SANDAL

kau tahu, apa yang paling kutakutkan?
memanjat. Setelahnya, tidak ada
kata lain selain jatuh. Coba,
sendainya erat kupegang dahanmu,
aku takkan mati sandal karenamu.
seandainya, ada kata lain selain
jatuh, setelahnya, kau tahu,
apa yang paling kutakutkan? Terbang,
dan tak kembali lagi padamu.

MENJEMUR SANDAL

seharian ini, kau dan aku,
berpergian. Ziarah. Ke makam
para raja Liwa. Dan kau,
setidaknya lelah menemaniku,
melapangkan jejak jalanku, juga
melancarkan kehati-hatian kita.
sekarang, kau kujemur, setelah
sekian hari terkena air bumi.
resiko, bagian telapak kaki.

MENIMBA SANDAL

telah kutunjuk tali timbamu, dinda, menentukan dasar hidup kita.
tidak ada perjalanan yang lebih dalam. Tidak melelahkan. Letakkan.
setelah terasa kepermukaan. Sandingkan. Bulan di atas jalan. Cahaya
di bibir tahan. Mengapa belum juga kau urut tanganku dengan balsam?

Oky Sanjaya

MENURUNI SANDAL

kita tidak akan celaka.

tetaplah di antara tapal batas keinginan.

kita mengerem.

SANDAL SETETES TINTA

aku memilihmu memberkas di atas
secarik kertas. Sengaja atau pun
tak disengaja kubiarkan kau
mengalir menemu arus sendiri
menemu retak celah sendiri
membercak dan membumi. Kubiarkan
kau lebih dulu timbul dari
bulan madu malam hari. Dari
ciuman pertamaku ke pipi pertiwi.

KETIKA MATAHARI MENJADI

aku tak terpikir ingin mendaki, menginjakan bagianku di rumput teki
dan basah bumi pagi hari. Aku hanya ingin menemuimu, kekasih,
bau kemangi dan dahaga biji selasih. Kembali mengajakmu menebak,
tentang perpisahan di tengah pesta itu. Adakah yang keliru? Adakah yang
terlewatkan? Kita kembali pergi pagi hari, meninggalkan jejak kusut
pada bibir, pada mata dadu, pada lepuh permainan. Ada masa kanak-kanak
malam tadi. ada celah sempit untuk menyipit. ada tawa, jenggot, dan
asap tipis. Dan kabut, tak perlu lagi kau sebut. Dan rumput,
selalu menjejak maut.

SANDAL SELEMBAR PASAL

bila waktunya tiba, aku akan kembali padamu,
bumi. Jadi hara yang lain menemu rusuk
yang lain. Menjadi urat bagimu, menjadi pasal
bagi asal. Aku pun tak perlu lagi kau
beri gravitasi. Telah lengkap syarat jadi
bagimu pribadi.

SANDAL SENJA

setelah senja datang, kita kembali melupakan sejenak
apa yang semula tak enak dibicarakan. Tik-tok langkahnya
akan meyakinkan kita tentang malam yang akan tiba.
dan lampu-lampu, seperti biasa, mengabarkan
kota ini berpenghuni. Ada jejak senja di pipimu, sayang.
ada langkah lelaki yang kau curi.

2009

SANDAL KERTAS

siapa yang terbilang laku
jadi secarik peristiwa kota Bandar
ketika sinar bulan menampakan yang tercemar
dari sudut-sudut gang? Semuanya
seperti cahaya yang berpendar jauh
dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang
mencatat kapal-kapal merapat
meski kita telah kehilangan tempat
dua baris lagi dari satu halaman kertas adat.

2009

SANDAL JAZZ, 2

aku tak ingin peduli dengan baju compang-camping,
halte tempat kemungkinan kita menunggu sesuatu,
bus kota yang telah ditentukan arah tuju. Dan jaket,
akhirnya mau meregang, dari pembelian baru kemarin
membentuk lekuk liku tangan tubuhku. Kita
mungkin tak perlu lagi mengatakan permisi
tak ada yang mengira-ngira telah diterima atau tidak
sebagai tamu pergi. Aku meninggalkanmu sebentar
mencari penganan – sesuatu yang mungkin layak terpanggang.

2009

MELETAKAN SANDAL

di mana aku mesti meletakan sandal itu, ketika
yang sempat melirik tak mengira kepunyaannya?
di depan pintu? Tidak. Tidak ada yang mau tahu
kepunyaanku atau kamu. Semestinya kita memberi tanda,
mengukir nama yang (mungkin) tak sama. Kau
seharusnya hilang dengan meninggalkan tanda bukti.

2009

SANDAL JAZZ

tak ada kemewahan di tangkai nada kita, hanya turbulensi
di sekitar dada, pecah dan lapang pintu kita. Tak ada hari baik
untuk merajuk, menggoda kita untuk tertutup. Buka saja,
tak perlu menunggu di balik pintu. Kecuali memang dari tadi
aku tertipu.

2009

MEMANDIKAN SANDAL

kita mungkin telah memilih jalan yang salah
menduduki pekarangan belakang rumah orang
yang juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai
beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita
mungkin tergesa-gesa untuk pulang, karena magrib
seperti datang tiba-tiba, masih ada yang belum
disiangi, masih ada yang belum bersih dicuci.
tapi, “tolong!”, jangan kau maki sandalku yang putus ini.
dia masih layak ditusuk peniti.

2009

PERUT JENDELA

aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya
menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang.
aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca
bahwa air sumur tua merekahkan perut kita.

2009

JANGAN KAU GUNAKAN KEMBANG API DAN PETASAN

jangan kau gunakan kembang api dan petasan,
bila ingin merayakan kehilangan, mereka terlalu cepat
membuat penghabisan. Mereka terlalu indah untuk
dilupakan, dan terlalu sukar untuk diberi kejutan.
jangan kau gunakan, tapi telepon aku saja: pemicu reruntuhan.

2009

MENGUNJUNGIMU

budi p hatees

kita kembali mengunjungi plaza, berhenti sejenak,
menutup tumpukan majalah, gundah, dan lalu-lalang orang.
kita kembali, menduduki lif, berbicara empat mata,
setelah semua saling musuh, saling racun, dan tewas
di bawah senja kota. Kita kembali, bersama tumpukan kata
yang belum juga diberi arah bicara, padma
dari keculasan beberapa tema. Kita cuma iseng,
dan jalan-jalan saja.

2009

MENYISIR

kau sudah selesai berkaca-kaca, memalingkan wajahmu
ke kembang api, ke bintang polaris itu. Atau yang lebih
jauh lagi. Kau (mungkin) sudah selesai berkaca-kaca,
di situ, antara carut-marut petasan, setia dan kawan,
jagung dan ikan bakar, asap dan wangi dupa.

2009

BELAJAR MENERIMA KEKURANGAN

setelah kau putuskan untuk terputus aku berharap
tak tertinggal lagi di cincin tiraimu, seperti lampau,
beku dan tersudutkan. Apa lagi kini, tubuhku
tak mampu menjangkau, meluruskan segala tirai
dari cahaya yang menyengat. Dan selagi ini
terlukiskan, sebaiknya engkau mengantikan aku
dengan tali yang lebih panjang.

2008

SANDAL KANAN

kita tidak mungkin meninggalkan sandal ini. Kehilangan kawan
yang serba menatap kiri sama arti dengan cacat terpikul sendiri.
tunjukan rasa hormat abdi, meski disertasinya tentang jalan dan lahan
bukan milik pribadi. Kita meski mencari si kiri. Tapi, kekasihku,
mencuri adalah konsekuensi.

2008

MENGIKAT PINGGUL GORDEN

cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk
bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,
mematikan gigi palsu? Apakah kau tak ingin ikut
melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.

2008

MENDAKI SANDAL

kita memutuskan keluar rumah. Aku dari pintu depan, dan kau
dari pintu dapur. Tak ada yang memilih pingsan atau kejang.
tak ada yang memilih “pecahkan!”. Tanpa membanting,
kita memutuskan keluar, dan tak ada yang dibuat tergesa,
sandal terpakai seperti biasa menutup separuh ketelanjangan kaki kita
menutup luput dunia, khusuk dalam membran telinga.

2008

BILA SANDALKU TELAH TIBA

bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba ingin
tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan mengerti pergi.
beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak ada
salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga
tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap
ini setia.

2008

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.