SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 26 Juni 2010

“Cumbung Lappung” dan Budaya Nihil

Tradisi dan Tradisional

Sebelumnya pada zaman entah-berantah kita belum memberikan konvensi penting pada kata “tradisi” dan “tradisional” baru setelah zaman kemerdekaan berbahasalah kita memulai memberikan istilah-istilah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kita telah mengetahui, ada yang menulis A untuk mewakili sifat dari suatu zaman, ada yang menulis B karena melihat latar belakang dan latar depan pengamatan, ada yang menulis C karena mengintip dari celah kecil pintu yang terkunci, ada (mungkin yang lain) dan lain-lain. Tapi yang terpenting kesemua istilah tersebut berangkat dari konvensi.

Bahasa memiliki sifat konvensi dan berkembang. Bahasa berkembang karena merdeka – karena gejala estetis (saya curiga sebenarnya bahasa muncul tidak direncanakan) – ada gelaja (maksud saya gejala) “spontanitas estetis“.

Pada akhir-akhir ini dikatakan modern dikatakan tidak bernilai manusia. Maka kata “tidak manusiawi“ muncul digaris depan, menghantam, dan berupaya meluluh lantakan persoalan-persoalan yang pada dasarnya adalah penderitaan-penderitaan yang dialami manusia. Di sudut pandang yang lain, dari lorong-lorong gang peradaban, dari lekuk-liku jalan setapak, kita dapat melihat kata “modern“ mengalami penyesuaian. Modern berkenaan dengan “apa yang dimakan“ sedangkan pelestarian nilai budaya berkenaan dengan “bagaimana memakannya“.

Tidak semua orang memakan mie pangsit dengan sumpit. Kenyataannya ada yang menggunakan sendok saja, garpu saja, dan ada yang menggunakan keduanya. Beberapa kalangan memakan sebentuk daging menggunakan pisau dan garpu. Tetapi di restoran yang sama ada juga yang lebih nikmat menyantapnya dengan menggunakan tangan. Dengan demikian, “apa yang dimakan“ itulah yang saya sebut modern dan “bagaimana memakannya“ itulah yang saya sebut tradisi. Jika di antara kita menerima keduanya, menerima timur dan barat peradaban, di antara kita tadi akan menyongsong hari moderat yang lebih baik. Ada yang perlu dipertahankan ada yang perlu dibuang karena moderenitas dan tradisional terikat dalam sekuali kebudayaan. Kebudayaan, lagi-lagi, merupakan hasil olahan, ramuan manusia sehingga diharapkan menyehatkan dan di antara kita akan ada yang kecanduan. Yang kecanduan akan cenderung mempertahankan, yang berjarak tentu akan memperkaya, yang menolak dan kritis biasanya yang berada di luar sistem. Ketiga-tiganya mendapat tempat untuk mengakarkan peradaban baru yang “manusiawi”.

Cumbung


Cumbung dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Mangkok.

Berangkat dari humanisme, beberapa diantara kita sibuk mencari tahu siapa dan darimana kita. Diantara kita dipenjara oleh “kalau usul tak boleh asal, kalau asal tak boleh usul“. Tapi pada kenyataannya asal dan usul (meminjam pendapat Budi P. Hatees) adalah “penyakit pikiran”. Kita sah-sah saja mengatakan berasal dari, lahir dari, mulai menempati dari, mulai berjalan dari, karena di antara kita memiliki pertimbangan-pertimbangan gejala. Saya tidak begitu yakin cumbung yang berisi gulai taboh takil cok iwa tenapa akan pecah di tengah-tengah para saibatin, punyimbang dan masyarakat adat ketika sedang menyantap hidangan, tapi kemungkinan pecah saat membereskan pelambaran (menyusun kembali mangkok ke dalam sebuah nampannya) akan hadir.

Cumbung itu pecah. Pecahannya berantakan di suatu titik jalan. Beberapa orang menyarankan, “sudah tinggalkan“, yang lain menegaskan, “suatu ketika akan tertusuk kaki pejalan“, yang lain menyarankan, “kumpulkan, rekatkan dengan damar”.

Sayangnya, orang lampung, lebih suka mengumpulkan banyak cumbung, banyak panjang (piring), banyak gelas. Jadi satu cumbung lebih disarankan “sudah tinggalkan”.

Fenomena demikian mengantarkan kita pada suatu kesimpulan: adat Lampung yang dibangun saibatin akan ketahuan. Saya menilai ada kesenjangan antara saibatin dan rakyat. Saibatin tertutup dan rakyat jadi budak, bodoh, dan ikut. Itu karena saibatin memiliki kekuatan dan kekayaan.

Banyak saibatin yang tidak “diakui” lagi dalam masyarakat saibatinya dikarenakan tidak memiliki kekuatan dan kekayaan lagi sehingga dimasyarakat muncul satu konvensi kata yaitu “mbatin”. Seseorang yang telah mbatin menurut konvensi masyarakat itu juga berperan penting dalam pembangunan masyarakat. Bahkan ada yang mengangkatnya menjadi saibatin. Resepsi-resepsi pun dilakukan. Tentunya tetap mengandalkan darah kerbau. Garis keturunan diabaikan karena kekayaan dan kekuasaan. Dan masyarakat Lampung menerima semua itu. Penyebabnya adalah sebagian orang Lampung miskin sedangkan saibatinnya pelit, medit, dan dedemit di dalam masyarakatnya. Inilah yang menyulitkan kita mengumpulkan kembali pecahan-pecahan itu dan merekatkannya dengan damar. Masyarakat mengalami trauma.

Membangun Peradaban Lampung


Lampung itu hilang. Kenyataannya dia ada. Kita sebaiknya berhenti mengatakan “kami asli orang Lampung”. Tidak ada alat untuk mengukur itu. Bagi kita sekarang yang terpenting adalah, dengan keragaman bahasa dan budaya, persoalan unsur serapan yang diterima, bagaimana mewujudkan peradaban Lampung. Apakah ada dihati nurani manusia tidak ingin hidup aman, damai, tenteram, dan sejahtera? Rakyat Lampung saat ini lebih senang berupaya mempunyai TV dan parabola dibandingkan dengan ahli membaca dadi. Dengan di atap rumahnya terpasang parabola cukuplah mereka merasa kaya.

Beberapa orang Lampung yang merantau ke pulau jawa adalah buruh pabrik dan pencuri. Penyebabnya adalah tekanan ekonomi dan pendidikan yang kurang memadai. Keahlian mereka sejak semula adalah menanam kopi dan lada. Keahlian seperti ini tidak lagi mendukung kehidupan mereka yang lebih baik sehingga bertani bagi mereka tidak akan menghasilkan apa-apa. Saibatin tidak pernah memberikan bimbingan dan pengarahan bagaimana mengembangkan daerahnya. Hanya diusia senja saibatin-saibatin itu (mungkin) pulang kampung.

Pada usia produktif pemuda-pemudi Lampung lebih memilih merantau. Hidup sakit ditempat orang, menurut mereka, lebih baik ketimbang hidup susah ditempat sendiri. Rasa gengsi ini telah mendarah daging. Di perantauan jadi kuli tidak apa-apa yang penting ketika dikampung tampak keren. Orang Lampung sejak semula dididik untuk pamer. Pamer kekayaan, pamer jabatan, pamer kekuatan, pamer gaya hidup sehingga di benak mereka hanya satu: pamer. Tidak mengherankan bila Visit Years Lampung 2009 hanyalah sebuah pameran. Orang Lampung, berfikir, lebih baik uang dikumpulkan untuk membeli piring, gelas, mangkok (cumbung), sendok dibandingkan untuk menyekolahkan anaknya. Pendidikan gratis sangat dielu-elukan tanpa mempertimbangkan mutu pendidikan. Sosialisasi yang kurang mengantarkan mereka berfikir bahwa dalam pendidikan segalanya gratis. Saya juga mempertanyakan, iklan gratis pendidikan , mengapa baru muncul setelah pemilu legislatif selesai.

Namun demikian tidak sedikit orang Lampung yang menjual repong dan sawah untuk pendidikan anaknya, menyogok “individu pemerintah“ sehingga anaknya menjadi pegawai negeri, bahkan untuk menjadi seorang buruhpun orang Lampung menyogok. Perlu disadari, memang tidak hanya orang Lampung yang hanyut dalam budaya sogok-menyogok. Sogok-menyogok tidak selesai sampai menjadi buruh. Lembaga hukum dinegeri ini pun rawan sogokan. Polisi, saya meragukan kenetralan mereka. Adakah “nilai baik” yang dimiliki orang Lampung? Jika nilai-nilai tersebut ada di dasar dan tenggelam mari kita angkat kepermukaan. Menjual “nilai baik“ bukankah suatu pembelajaran ke dunia internasional? Bukankah tujuan dasar pendidikan negara kita adalah menghasilkan insani? Saya rasa kita perlu berhenti mencari siapa yang benar dan siapa yang salah di dalam mengangkat tradisi. Pecahan cumbung yang kalian temukan yang seharusnya berada disudut tertentu karena pecahannya mirip dengan sudut yang lain toh cumbung yang kita rekatkan dengan damar itu tetap retak. Tapi paling tidak dia tetap berbentuk cumbung. Dia tetap Lampung kita tercinta.

Budaya Nihil

Ketika saya sedang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya sudah diperkenalkan dengan kata “nihil”. Saat itu saya menjadi ketua kelas. Setiap siswa yang tidak masuk akan ditulis di papan nihil itu dan diberi keterangan apakah siswa itu sakit, izin, atau alpa. Jika tidak satupun siswa tidak hadir di kelas maka papan dengan segera kutulis nihil.

Dari pengalaman itu, dan sampai saat ini, nihil saya pahami sebagai kebaikan. Siswa 100% hadir. Dan bagi guru kehadiran tersebut menjadi petanda dan penanda penting kegairahan pembelajaran.

Jika ada siswa yang sakit dan diterangkan oleh papan nihil itu sampai tiga kali maka kami segera berancang-ancang untuk menjenguk. Segalanya telah kami persiapkan. Mulai dari menarik uang sumbangan sampai mencari mobil angkutan. Demikian pula bila diantara siswa ada yang alpa segera guru menanyakan ke beberapa teman dekat siswa apa, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana siswa tersebut. Guru dan beberapa siswa mulai berprasangka. Ada yang berprasangka baik ada yang berprasangka buruk, dan (mungkin pula) ada yang tidak berprasangka.

Pengalaman ini membuat saya mengerti bahwa data tidak selesai di papan nihil itu. Seorang guru tidak layak dikatakan bijak bila dia langsung memvonis siswa yang alpa 3 kali bahwa siswa tersebut siswa yang tidak berdisiplin. Tentu ada tahapan-tahapannya.

Begitulah yang saya lihat dan saya mengibaratkan Indonesia ini adalah sebuah kelas yang berisi 33 siswa. Salah satunya adalah Lampung. Selama mulai mengikuti bangku sekolah, Lampung ini, termasuk siswa yang sering sakit-sakitan. Meski demikian dia tetap hadir di kelas setiap akan memulai pembelajaran. Pernah suatu ketika, Lampung kumat. Terus kata seorang siswa, “kamu sakit?” Dengan berusaha kelihatan sehat Lampungpun berkata, “saya sehat.“

Oky Sanjaya

Catatan ke 24

Puisi klasik lebih pada dampak;
Puisi kontemporer lebih pada bentuk;

Eh, terbalik!

25 Juni 2010

Sebuah Impian

Pada pengelihatan-pengelihatan dari kegelapan malam
Aku telah memiliki impian yang bertolak dari suka cita
Tetapi sedang bangunnya sebuah impian dari hidup dan lampu
Jepit topi di sebelah kiri kebokekanku – hati.

Ah! Apakah impian berasal dari hari
Bagi mata lelaki yang memantulkan
Pada benda-benda sekitarnya dengan sebuah sinar
Kembali berlangsung putaran masalalu?

Impian suci itu – impian suci itu,
Sementara semua dunia sedang mencari
Jepit topi menyoraki seperti sorotan menyenangkan
Sunyi sedang menuntun jiwa.

Apakah lampu itu lebih dulu, tenggorokan badai dan malam
Sehingga getaran yang berasal dari jauh –
Apakah akan lebih bersih cemerlang
Pada kebenaran hari – bintang?

Edgar Allan Poe (Terjemahan Bebas Oky Sanjaya)

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.