SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Jumat, 23 Juli 2010

Juru Sambutan Ketiga

rambut yang terhormat, dengan sangat

terpaksa aku harus mengguntingmu. Karena

urusan keluarga aku merasa tak kuasa

menenggak apa yang selalu ingin kau

pastikan kepadaku. Yang membuat aku percaya

bahwa tak sepenuhnya kami tak memikirkan

keluarga. Di depan kaca, aku cukup malu

untuk berkata-kata. Maka aku memilihmu

saja. Rambut yang terhormat,

di depan kaca kau mengkultusku sebagai

malaikat pencabut rambut.

aku ingin menyangkal itu. Karena yang

aku lakukan hanyalah memotong.

mengapa kau menjadi tampak tolol di depan

kaca? Kambing saja kehilangan nyawa

karena disembelih bukan karena dicabut

rambutnya. Tetapi aku telah menyiapkan

gunting yang tajam sehingga kau tak

merasakan sedikitpun kesakitan di depan kaca.

kecuali mata saya.

Juru Sambutan Dua

kaki, berangkat adalah kepergian yang hangat

tetapi kerinduan bukanlah waktu yang singkat

sesingkat kita menggosok-gosokkan gigi

pada pinggul sikat yang serat. “Awas kau

tergelincir lagi! Gusimu yang tua bisa

kembali berdarah karena luka lebam

sepuluh tahun sudah kembali menjadi

sasaran.”. Tepat saran. Kaki, jika nanti,

kau benar-benar memilih kembali, bawakan

aku beberapa tangkai daun seledri.

perang di rumah akan sangat dingin.

dan i yang hilang telah pulang.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.