SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 17 Desember 2011

Murid Baru


Hari Sabtu, kami kedatangan murid baru.
“Perkenalkan namamu!” kata ibu guru.

Kami ragu, ia lama membisu.

“Nak, perkenalkan namamu!” senyum ibu guru.

“Namaku Adam, baru saja turun dari Surga.”

Kami ragu, kami lama membisu.

“Hahaha…,” Herman memecah kesunyian.
Kami pun tertawa riang.

“Anak-anak, mohon tenang!” ibu guru meminta.

“Di mana Hawa? Apakah ia ikut turun juga dari Surga?” ibu guru bertanya.

“Ibu, please, deh, bukankah ibu, Maria?”

“Hahaha …,” Herman tertawa.
Kami pun tertawa riang gembira.

“Ya, sudah, mungkin kau lelah, nak. Di samping Herman, kursi begitu kosong. Mungkin di sana kau akan mulai mengenali tuhan,”

“Silahkan duduk, Adam!”

Ibu guru memulai pelajaran.

Menjaga Celana


Celana yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku yang lupa ikat pinggang, berani datang diam-diam, merapat ke dinding kelas-kelas. Bukannya pulang. Mataku, pasang mata curiga; siapa yang menggoyang-goyang pintu kelas; siapa yang menatap sambil menyapu; siapa yang kini di gerbang pintu. Ternyata, aku baru saja lewat dari ranjau, yang dipasang lengket di tiang bendera. Aku harus benar-benar menahan ketawa. Selintas, celana bisa saja tewas. “Pantek,” kata anak itu kesalnya. Aku tertawa. Hampir naas, aku menunduk sehingga tak terjangkau matanya. Diam-diam, aku jalan jongkok, memasuki kelasku, dengan mata tetap waspada.

“Aduh, PR-Ku lupa, di kelas kukejar saja.”

Celana yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku harus mengeluarkan baju sehingga menjaga keberadaannya.  Aku, tampaknya, akan lama bersitegang. Di bangku, kedua tanganku akan gemetaran. Aku akan keringatan. Kemudian, beberapa teman sekelas akan mulai tampak heran. Oky yang biasanya sarat menantang pinggang, kini baju dikeluarkan. Oky yang biasanya berloncat-loncatan, kini tampak duduk diam. Oky yang menampakkan mata yang ingin maju ke depan, kini tampak bertahan. Beberapa teman sekelas tampak mulai kompak membalas.

Di kelas, aku sendirian, kemudian pingsan.

Di UKS, akhirnya, kutemukan celana, dalam keadaan aman.

Wuih, aku dibuat pingsan olehnya.”.

Celana yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Tetapi kesementaraan, berlalu begitu saja. Aku datang kembali ke kelas. Mencoba siap menghadapi Herman. Wajahnya kembali buas, mendapati titik lemahku. “Serang celana!” ungkapnya. Seluruh mata teman-temanku, tertuju pada celana. Kami berkejar-kejaran. Aku bertipu-daya. Meleset dari setiap jangkauan tangan. Kemudian, ada wanita, aku berhenti berlari akhirnya. Celanaku tewas. Teman-temanku bersorak. Merdeka! Merdeka!

Tulung



Tulung pai kidah tulung
Tulung di buwokmu sai mekejung
Tulung tetok pak mak di khangok
Tulung tetok pak mesokhok

Tulung pai kidah tulung
Tulung ngimut di tahi manang
Induh ya bai, induh ya mekhanai
Sapa ya, asal tiguwai

Tulung pai kidah tulung
Dang sasing, dang senggayakh di cawa sasing
Pak kutti mak di tebing
Pak kutti mak di bias senga catting

Tulung pai kidah tulung
Mekhanok pai di ulumu
Kanah salah sai ti guting
Kanah meliam mula ni tippang

Tulung di tulung-tulung
Tulung ya bulajakh ngehappun.

Sabtu, 26 November 2011

Pembunuh Sandal (16)

16. Akankah aku seperti bungkus ciki itu, menjadi sampah yang tak dapat terurai? Dan orang-orang, mengangkatku untuk didaur ulang. Hilanglah yang sedikit tak penting dalam diriku. Dan orang-orang mendadak girang. Atas nama keindahan. Atas nama musiman. Atas nama promosi dan iklan. Orang sepertiku, tak perlu kau tutup-tutupi. Aku masih punya harga diri. Aku pernah membungkus ciki. Meski aku mati tak terima tanah.

Rabu, 23 November 2011

Pembunuh Sandal (13,14, dan 15)


Aku:

13.
Diusiaku yang akan ke 23, di bulan Oktober, hujan hanya turun sekali. Ketika itu, kubiarkan ia basah sepanjang jalan. Kubiarkan ia turut menekan, rem atau gigi. Mantelku tebal. Dinding pandangku tebal. Hatiku takut lepas. Ketika itu, katamu, “di sekolah, sepatu tidak boleh basah.”.
Sepatu:

14.
Tidakkah kau memahamiku sebagai pengganjal – hubunganmu dengan sandal. Ketika itu, ketika kita beranjak diperlukan. Ketika kita mulai berjalan pada kepentingan masing-masing – aku yang menjadi penting karena keberadaan kau.

Tidakkah kau memahamiku sebagai hal yang pantas di atas teras kelas – meski seberapa buruk aku bagi kenyamanan kau – membaca, menghitung, bahkan menyadarkan guru yang kelewat keliru, bahwa jam pelajarannya  telah lama berlalu, bahwa bel tidak lagi ia dengar sebagai pergantian.

Tidakkah kau memahamiku hanya sebagai perjalanan, yang harus, yang harus kau lewatkan. Aku tidak pernah mengajukan. Aku hanya menjadikan.

Dan aku menderap, bagai langkah tank baja. Menghadapi gerbang sekolah yang hanya terbuka sementara, kemudian menutup diri kita selamanya.

Dan kau gelisah, sebab tidak pernah bisa pulang ke rumah.

Di papan tulis, kau tidak juga bisa menulis angka delapan, sampai tangan gurumu menggapai tanganmu. “Nak, angka delapan itu bukan dua lingkaran. Tetapi seperti ini. Seperti perasaan.” kata gurumu yang kelewat sabar. “Tapi, bu, sama saja, sama saja.” Katamu. “ Tapi nak,” kata gurumu, “ini sudah baku.” “Tapi, kan, perhitunganku benar, bu. Ibu juga tahu maksudku, itu angka delapan. Apakah kebenaran tidak lebih penting dibandingkan dengan kebakuan? Apakah kebenaran menjadi tidak benar, bu, karena tulisanku tidak baku? Ini angka delapanku, bu. Ini, aku.”. “Tapi ini angka delapan, ibu, nak. Ini ibu, nak. Kau percaya, kan, dengan ibu? Percayalah, kau akan selamat di hadapan orang-orang baku itu.”

Di hadapan papan tulis, membelakangi teman-temanmu, di kepercayaan gurumu, kau berhasil menulis. Dan aku, saksi yang paling menangis. Kemudian kita melangkah, mendekati kursi, mendekati meja, mendekati jendela, medekati kata-kata.

Aku:
15.
Di istirahat pertama, setengah jam saat bel masuk akan tiba, aku memilih untuk tidak pergi ke kantin, tetapi datang kembali, menemui pelepah pohon kelapa. Aku terus saja berayun-ayun diketinggiannya. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Dan melompat sampai ke tanah.



Sabtu, 01 Oktober 2011

Pembunuh Sandal


12
“Tetapi tanpa membuka kita tidak akan mendapatkan apa-apa.”
“Tetapi setelah kau mendapatkannya, apa yang akan kau lakukan? Kau akan meminumnya. Habis. Habis.”

“Tetapi aku sempat menatapnya.”

Nasi goreng dihidangkan. Seorang pelayan menitiskan senyuman.

“Tetapi, karena keinginan aku dan kau dilahirkan.”

 Pembicaraan kami terhenti, sunyi dalam kunyahan.

Senin, 26 September 2011

Sandal-sandal dan Kepergianku

Sandal-sandalku, aku telah kembali memakai sepatu. Sesuatu yang telah menjadi kewajibanku sebagai guru.

Pagi sekali, aku kembali meninggalkanmu. Meninggalkan rumah kontrakan dan tanaman.

"Pastikan.Pastikan." katamu.

Pagi sekali, aku memastikan buku-buku pelajaran itu, -- laptop, absen, dan hasil koreksian ujian.

Aku memastikan kepergian.

Setiap kepulangan, katamu, ada istirahat dan pintu gerbang yang terhambat. Ada kisah cinta siswa yang selintas lewat. Ada ingatanku mengenai subbab-subbab. Dan langkah-langkah sepatu itu.

Sandal-sandalku, memakaimu, adalah memakai sesuatu yang tidak pantas. Di kelas, aku tiba-tiba melupakanmu, dan memperhatikan murid-muridku.

(belum selesai) 

Selasa, 20 September 2011

Pembunuh Sandal

11
Kita pergi, cari makanan di pinggir jalan. Kau menemukannya. Nasi goreng, ya, nasi goreng. Kau memutuskan memesan, dan memilih minuman.

Kau elus-elus jenggotmu. Menatap es teh yang baru saja datang di atas meja makan. Kau tatap, sampai permukaannya mencapai tenang. Kau minum, kau teguk. Kemudian kau elus-elus lagi jenggotmu. Menatap kembali es teh yang kau letakkan di atas meja makan. Dan kini, kau senyum-senyum sendiri. Menyipitkan mata pribadi.

“kau tidak ingin memesan minum?”

“tidak. Aku takut gigiku kuning.”

“kalau begitu, air mineral saja?”

“Tidak. Aku tidak ingin membuka apa-apa.”

Siswa dan Gurunya

Siswa: Aku ingin siap menghadapi masa depan. Tetapi masa depan adalah kerusakan. Hari yang berlari menuju kehancuran. Pola dan pola adalah kertas origami. Yang kami lipat-lipat. Melipat senyuman kami, pada sebentuk batu, sebentuk burung. Tanpa nyawa. Tapi kenangan. Keterbelakangan kami adalah
keterbelakangan menilai dan mengoreksi.

Guru: Kehidupan ini dinilai. Dikoreksi. Kesetiaan dan keberatan pada pengetahuan yang di sumpal-sumpalkan. Dan pengkhianatan otak.

Siswa: Tetapi, guru, waktu aku membeli buku, yang kubaca hanyalah masalalu. Pentingkah itu? Pentingkah itu?

Guru: Seandainya tidak ada yang sakit. Seandainya, kita, tidak ada yang mati. Pentingkah
ini? Pentingkah ini? Pentingkah siswa bagi kami?

Guru dan murid sama-sama diam. Guru membayangkan dirinya menjadi mati. Murid membayangkan dirinya menjadi guru.

Guru: Yang kita tatap adalah senja. Matahari terbenam. Hari akan malam. Bukankah kau harus mengerjakan PR? Besok ada ujian, kan? Hadapi, sebab itulah kau dihidupi!

Siswa: Tenang saja, guru, aku sudah cerdas. Tinggal mengerjakan tugas.

Guru membalas senyum muridnya. Guru membayangkan dirinya menjadi murid. Mengerjakan tugas, dan kehilangan banyak kertas.

Guru: Setiap tugas harus kau arsipkan. Sebagai bukti. Sebagai bukti. Bukti kau pernah lahir sebagai sejarah. Karena keresahanku. Karena keresahanku adalah kertas-kertas tugas yang telah dinilai dan menumpuk.
Arsipkan sendiri sejarahmu. Dan guru tinggal mengilokannya. Biar dapat didaur ulang.

Siswa: Pentingkah itu, guru? Pentingkah itu?

Guru: Penting, karena kau akan menjadi presiden.


Guru membayangkan siswanya menjadi presiden. Siswa membayangkan dirinya menjadi presiden.

Mempertahankan Rumah

rumah yang tidak ada artinya lagi
untuk apa dipertahankan? Tiang dan tangga
telah jadi usang. Timba sumur,
reot. Dan dapur, kempot. Apa lagi
yang harus aku pertahankan
dari atap rumah yang berkarat
dan sobek – dari dinding
yang telah begitu banyak kehilangan angin?
kecuali ingin, untuk tidak pernah memagar rumah.

Sabtu, 25 Juni 2011

“Surga” dan sedikit tentangku; adalah apa yang tak dapat aku jangkau!

239

Satu apel pada satu pohon dan sedikit tentangku;
yang digunakan untuk kesia-siaan dan sedikit tentangku;
itu saja dan sedikit tentangku;
“Surga” adalah dan sedikit tentangku; untukku

Satu warna, pada satu pandang awan dan sedikit tentangku;
satu tanah penghalang dan sedikit tentangku;
tertinggal dari satu rumah dan sedikit tentangku;
di sana dan sedikit tentangku; Firdaus
dan sedikit tentangku; adalah keberadaan.

Keungu-unguannya diperolok-olok dan sedikit tentangku;
hari-hari sore, hari-hari sore, dan sedikit tentangku.
Peyakinan dan sedikit tentangku;
Pemikat dan sedikit tentangku;
Kita acuh dan sedikit tentangku; Kemarin!

Jumat, 24 Juni 2011

Catatan ke 26

sejarah tidak pernah menumpahkan darah di dalam rumah.

o.s. 20/06/2011

Catatan ke 25

sumur tanpa dasar, tak pernah mengeluarkan air.

11 Desember 2010

Sesuduk

Jejak siapa yang akan tertinggal, di rumah yang telah kehilangan pangeran? Catatan-catatan di buku, kau baca ulang. Ada nama baru. Ada nama kawan lamamu. Ada nama yang kau ingat, namun tak tercatat. “Dasar adat,” katamu. Maka kau mulai menepis ketakhadiran orang-orang; yang mati karena tabrakan; yang mati karena tergelincir ke jurang dan tertimpa beban; yang mati karena ditusuk dari belakang; - atau yang mati karena usia sudah menginjak enampuluhan. Kau berangkat, bahwa buku catatanmu telah lengkap. Jejak siapa yang akan tertinggal, di rumah yang telah kehilangan pangeran? “Jejak bapakku,” katamu.

Jam 3

Jam 3
Aku membasuh muka
Di bak
Yang telah mati krannya
Dan tidak lagi kutemukan kata
Yang sembahyang atau berdoa
Bagi mereka yang terlelap sementara.

Pembunuh Sandal

10

Di pesta dansa, kau membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak ingin pulang.

11

Tetapi, sebuah pesan singkat dari hand phone-mu, membuat singkat perjamuan. Kau seperti memikirkan sesuatu yang ada di luar. Kau membuat kursi terdorong menjauhi meja. Membuat kaget sehelai taplak sehingga sudut kakinya agak terangkat. Namun orang-orang tidak ingin berhenti berdansa sehinga tuts musik agak berubah, takut beberapa orang yang berpikir “ada apa?” mulai salah mengayun langkah. Ya, taman kota, dan lampu Tanjung Karang, seperti ingin menghindar dari gusar dan gurauan orang-orang.

Senin, 13 Juni 2011

Pilihan

Aku telah dihadapkan pada dua pilihan. Mencari atau menunggu. Ada yang bilang, menjadi penyair kau harus mencari –“yang abadi adalah mencari”. Ada yang bilang, menjadi penyair kau harus menunggu. Sungguh menyulitkan berada pada posisi seperti ini. Tetapi, yang kutahu darimu, aku menunggumu karena aku mengerti, aku mencari karena aku percaya. Inilah aku, sayang, berkesenian.

10:23 AM; 13/06/2011
o.s.

Pembunuh Sandal

10

Di pesta dansa, kau membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak memesan apa pun; sebuah pesan singkat mengharuskan kau pulang.

“Aku harus pulang ke mana?”, katamu, “Rumah tak ada.”.

Di Hadapan Jendela

seberkas sinar terkapar;
retak tiga keping;
berbenturan dengan kening.

Mengecat Kembali Dinding Rumah Kita

apakah cinta juga bisa pudar seperti cat dinding rumah kita? Atau retak
karena cuaca? Atau ketakmahiran kita, mencampur timer dan cat, sehingga
kepudaran itu, adalah kesalahan keduanya. Kesalahan kita. Lain waktu,
aku dan kau sebaiknya belajar, mengenai beberapa takaran, waktu, dan
harapan. Belajar, bagaimana kuas itu, harus dipoleskan.

Di Rumah Makan

Seorang lelaki berkata dosa.
Seorang perempuan menangis.
Seorang lelaki lainnya berkata tidak akan apa-apa.
Ketiganya makan dalam satu meja.

Membaca Kembali Halaman Depan Rumahmu

membaca kembali halaman depan rumahmu, seperti membaca
kembali tubuh kita yang sempat kanak-kanak. Kuingat kembali
wajahmu yang sempat kalah waktu main peci1, dan wajah-
wajah kita yang memilih kompromi untuk menang tak terlalu
banyak; baru-baru ini, kudengar teman kita, Pursan, sudah
punya anak. Lelaki, kabarnya. Ah, sungkan juga jadinya di usia
begini, main peci lagi. Bertarung kembali dengan Pursan.
membaca kembali halaman depan rumahmu, yang kini telah
berganti tanaman, seperti membaca kembali diri kita yang
mungkin akan mulai berbuah. Dan ingin rasanya berbagi kabar
dengan tetangga, bahwa kita telah berbuah, - tubuh kita tak sia-
sia tergetah. Seperti Pursan, teman kita, yang sempat memiliki
masa kanak-kanak. Kita bapak, dan ia anak. Serta Pursan, telah
menjadi tetangga di seberang halaman depan rumah kita.
tetangga yang sama-sama akan kita jaga.

catatan:
1 = kelereng

Minggu, 12 Juni 2011

Jak Lagu Mid di Lagu

Jak lagu mid di lagu
Jak takhu mid di takhu
Jak khigu mid di khigu
Bupenah juga, nyak, di niku

Jak tilu mid di tilu

Jak pagun mid di pagun
Jak tagan mid di tagan
Bujaga saya di tanggam

Jak tikham mid di tikham

Jak kahut mid di kahut
Jak ngimut mid di ngimut
Busekhah kita di bulapahan:

bujaga ngelawan sai tihadap

butontong ngelawan sai tumbai
lebon di khani-khani guwai
tinggok, tinggok di tengingok

Jak sekhingok mid di sekhingok

Jak tekas, jak kusuahmu kekhattas
Sai kucatat, sai kucatat
Kita pekhada mawat.

Minggu, 30 Januari 2011

Pembunuh Sandal

 

1

Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

 

2

Aku merenggut nyawanya secara beruntun. Tidak dengan tikaman tetapi dengan sayatan. Kuiris-iris ia di atas meja makan saat semua perseteruan selesai. Ia bersikap dingin di bawah kursi sedangkan aku bersikap penting di atas kursi. Jarum jam, saat itu, bersentak-sentak. Kita menolak semua percakapan yang hangat. Karena dengan kehangatan kita menyederhanakannya, dan selesai. Sedangkan seharusnya, kita menguraikan, apa yang telah kita santap di meja makan. Kau memandangnya dari bawah kursi sedangkan aku memandangnya dari atas kursi. Kau tersungkur pada sudut pandang yang lancip, aku tersingkir pada garis bias yang ganjil. Aku menganggap diriku sebagai pantulan sedangkan kau menganggap dirimu sebagai seorang insinyur bangunan. “Apakah perspektif cahayaku salah sehingga kau menganggap penggambaranku terhadap raut muka sungguh payah dan longgar – kau menganggapku tidak teliti pada setiap lekuk pipi?”. Di suasana yang dingin, kau menganggapku pembohong. Di suasana yang hangat, kau menganggapku penjilat. Maafkan aku menumpahkan liur. Karena hanya itulah yang tak dapat kuatur. Sudah kucoba; menghilangkan semua yang ada di atas meja.

 

3

Aku iri padamu. Di atas meja ini, kau seperti penguasa. Aku iakan setiap kata-kata yang jelas tergambar dari perubahan bias warnamu. Aku terima setiap silogisme yang berdenyut di kantung mataku. Tetapi, saat-saat ini, aku lebih menyukai angka nol atau sebuah lingkaran. Jari telunjuk tanganku menggores-goreskannya pada lantai seperti ini. Sesekali mataku membelalak, kemudian jari telunjukku menunjuk-nunjuk ke plapon. Seperti ini. Ya, seperti ini. Aku terpojok dari setiap lingkaran yang tak pernah tergoreskan di atas lantai. Aku menepuk-nepuk kepalaku dengan tangan kanan. Tangan kiriku sejenak kemudian mengiakan dengan sangat patah. Ia tak cekatan menilai mana yang kepala dan mana yang udara. Selalu ia pukulkan ke udara. Jari-jari tangan kananku meremas-remas kepala. Jari-jari kiriku membantai udara.

  

4

Tidak lama setelah ia hancur, aku ikut hancur. Rumah hancur. Langkah-langkah patah. Jalan-jalan tak terhubung. kebingungan-kebingungan terapung. Kesaksian datang. Arah pandang berubah. Lengan lelah. Ada tamu mengetuk pintu.

 

5

Tetapi tamu, tidak hadir siang itu. Kecuali ingatan kita yang hangat mengenai siring yang kering, dan rumput yang tumbuh di dasar dinding. Kau cemburu saat itu, karena sepatu telah pergi bersamaku, meloncati pagar coklat tua, berangkat ke sekolah. “Mengapa aku tak pernah berhak berada di bangku sekolah?”. Lelaki yang hatinya runtuh, berdiri tegak menghadap ke tembok, “Tunggulah di rumah, nanti aku ceritakan apa yang kudapatkan dari sekolah. Aku belum mau ambil resiko.”

 

Percakapan kami berhenti. Dan apa yang pernah aku janjikan tidak pernah aku ceritakan. Kami sama-sama diam, sama-sama mulai beranjak, sama-sama mengerti, untuk tidak pernah berkata-kata lagi. Tentang pertanyaan yang penting, tentang hari yang penting.

 

Karena itu, apa yang kulihat mengenai pintu, apa yang kuingat mengenai dinding, bukan mengenai siapa yang ada di luar, melainkan pembatas yang luas, sehingga untuk mengetahui kita membutuhkan kunci. Tetapi kunci tidak kutemukan dari tadi. Kecuali sisa tenaga untuk membuka jendela, menggeser sofa, atau menggeser gorden yang lusuh dan tua. “Kami telah memberi tralis setiap jendela, berharap setiap yang datang, tak pernah berniat mengambil.”. Kalender menjelma menjadi sebatang pohon besar. Daun-daunnya berserakan di ruang depan. Beberapa di antaranya retak terinjak. Dan yang berdiam diri dari kunci, tak pernah mencari. “Apakah penting mengetahui, apa yang ada di luar rumah ini?”. Mungkin akan ada yang bertanya-tanya, tentang sesiapa yang terpenggal di atas meja. Tentang peribahasa, atau yang terkunci di dalam lemari. Atau sesiapa yang baru saja lari setelah menggeser tubuh sofa, sehingga menjauh dari jendela. Atau lampu yang belum kita padamkan. Kran air yang belum kita matikan. Atau gelas yang tak jelas, selesai atau sudah, terpakai di dalam rumah.

6

Mungkin rumah terlalu lelah untuk selesai merapihkan isinya. Ada yang bergegas mencuci beras. Ada yang berdiam diri menyulut api. Di rak, beberapa piring berdenting dan mengucurkan air. “Kau hadir malam itu?”. “Tidak sempat. Aku banyak pekerjaan.”. “Tanpamu, bagaimana kita bisa mengirimkan salam, sedangkan aku tunduk di dalam rumah.”. “Ia, aku mengerti. Kita akan ucapkan lain kali. Saatnya kita harus tidur. Sudah larut.” “Tetapi siang hari, bukan milikku, milik sepatu.”. Beras yang telah berhasil ditanak seperti dilupakan memiliki hak. Langkah yang bergegas menjadi lamban. Api mulai padam. Sumbu kompor bergerak, meninggalkan permukaan. Di permukaan, air dalam panci tampak begitu tenang. Seperti ada yang ia simpan sangat dalam.

 

7

“Mengapa kau tidak pernah ingin pergi, dan kembali-kembali lagi?”.

8

Aku tetap memilih melangkah, meninggalkan sandal dan rumah. Di punggungku, kaca seperti lelah, tergelincir dari daun jendela, dan pecah. Dan angin akan mulai menelisik, memilih masuk lewat jendela yang telah pecah kacanya, bergerak sampai ke setiap sudut.

 

“Setiap rumah yang telah disapu, kami sebarkan kembali debu.”.

 

Lelaki itu tetap saja melangkah.

 

“Setiap yang pernah pergi tidak pernah pergi.”

 

9

Aku mengerti. Kau ingin sekali kembali. Beberapa waktu yang lalu, saat sebelum kau sayat-sayat diriku. Saat sebelum lenganku kau buat putus. Menyentak, karena aku yang elastis. Tetapi semuanya telah kau lakukan. Aku telah baka. Dan jika benar ini, bukan pikiran-pikiranmu saja. Semuanya, sudahlah. Aku mengerti. Ini semua karena perkerjaan. Ini semua karena kau telah ditolak.

 

 

PERJAMUAN SANDAL

di tangan yang gemetar, aku menjamumu, dengan sepasang
sandal yang telah hilang. Di perjamuan ini, sandal, tidak akan
kita bicarakan lagi sebagai objek, tetapi subjek – pelaku
kehidupan ini. Karena kepergian baginya adalah tugas dan
kehilangan adalah kepudaran sudut pandang. Di perjamuan ini,
kita tidak perlu lagi membayangkan sisa jejaknya yang tertinggal
di ujung gang, atau merapat ke teras depan. Karena pengetahuan
kita, mengharuskannya tidak pernah mengetuk pintu, mengucap
sebaris kalimat untuk menyatakan kehadirannya yang sangat.
di perjamuan ini, sempatkan saja oleh kita untuk tidak berkata-kata
dusta. Berhenti sejenak, untuk tidak melukai perasaannya. Dan
setelah ia tiada, dan setelah jelas letak penguburannya, kesediaan
kita untuk meneruskan apa yang disukainya sejak lama. Terputus,
dan tidak dibuang pemiliknya.

Selasa, 25 Januari 2011

Cinta

Vera Darmiyanti

seperti buku-buku, seperti formulasi baku
tentang waktu, kita seperti
tidak pernah pergi dari tekanan.
ia sangat tampak. Sangat tinggi.
Di hati yang tertusuk, ia adalah
penyesalan. Tetapi, setiap yang pernah
mampir akan dikenang sampai mati.

Kembali ke Rumah

kita sebaiknya kembali ke rumah, dinda. Mengambil
apa yang tak sengaja kita tinggalkan. Tetapi kau akan
telat. Tidak apa-apa. Lagi pula, lelaki, tidak sepenuhnya
pernah pergi.

Capai

Dalam diam, kau sedang berlari atau berhenti
tak ada menu pagi hari yang sampai malam ini.
makan terasa berat karena niat pergi ke barat
telah lewat. …

aku baru saja pulang.
dan tidak sesiapapun kutemukan di depan.

Kota Hujan

Bandarlampung, mungkin saja, telah menjadi kota hujan;
anak-anak kota turun ke jalan, menyewakan payung dan senyuman.

Bandarlampung, mungkin saja, telah menjadi kota hujan;
anak-anak kota turun ke jalan, menyewakan payung dan senyuman;
menanyakan kembali harapan-harapan.

Bandarlampung, mungkin saja, telah menjadi kota hujan;
anak-anak kota turun ke jalan, menyewakan payung dan senyuman;
menanyakan kembali harapan-harapan;
meski dingin semakin riang;
meski dalam kalimat, berulang-ulang.

Desember

Des, baru beberapa hari kau datang, perilakumu sudah mulai
tak menentu. Hujan menipu, jalanan yang menjadi lengang, dan
pakaianku yang basah sebagian. Di Koga, aku memutuskan
berlindung sementara, dari perilakumu yang (mungkin) juga
sementara.

Tanda Lahir

mungkin, di antara kita, memiliki tanda lahir yang sama,
berwarna hitam atau coklat tua di dada – beberapa helai
rambut tumbuh dan mengakar sangat dalam sehingga jantung
kadang berdenyut agak lamban. Atau berdetak semakin kencang
saat mengingat kematian. Mungkin sekali, karena tanda lahir
kita yang sama, kau mengerti, kalimat-kalimat yang baru
saja hadir lepas di hadapan, seperti dada yang terbuka
menyambut kedatangan mayat saya.

Riwayat

mengapa tanggal lagi sehelai kancing bajumu?

ia bertanya-tanya.

apakah aku terlalu memaksa?

sesuatu yang lepas dari jahitan, sesuatu (yang mungkin)
lelah menerima banyak sentuhan.

tetapi, yang lepas tetap utuh.

ia mulai menolak pertanyaan.

di dalam setiap pertanyaan, ada jawaban.

bulan emas di atas cemas

di dalam hati yang ditinggalkan,
banyak luka bekas tusukan.

ia mulai kehilangan malam.

Ia yang Menulis Tentang Dirinya

suatu hari, ia akan renta. Telah jauh dari peristiwa. Ia akan tidak berdaya lagi

dari berkata-kata. Tidak akan ada lagi yang mendengarkannya; mungkin karena ia

akan diam saja. Suatu hari, yang dapat ia lakukan hanya menulis, dan menulis saja – entah, mungkin bukan untuk sesiapa. Entah, mungkin juga bukan untuk dirinya. Maka ia

akan tampak sangat sekarat, karena dirinya dan lingkungannya. Tetapi, ia akan tetap

diam saja. Lalu ia akan mengingat-ingat apa yang sempat tumbuh di halaman depan

rumahnya. Sesiapa saja yang pernah menegurnya. Sesiapa saja yang pernah –

memanggilnya dengan sangat lantang. Wuy, api guway? Midokh, pah! Sesiapa

yang pernah membuat ia yakin bahwa di halaman depan rumahnya dapat untuk

tidak dapat dijaga. Maka, menurutnya kelak, meninggalkan halaman rumahnya adalah

kehilangan yang sementara.

Minggu, 02 Januari 2011

Keberaksaraan Sastra Lisan Lampung

Setelah membaca tulisan Iwan Nurdaya Djafar (IND) di Lampung Post, 19 Desember 2010, menarik minat saya memahami kembali “kelisanan” sebuah karya sastra. Pertama, saya mencoba menjawab kembali pertanyaan yang akan menjadi dasar tulisan ini, yaitu apa, mengapa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana “sastra lisan Lampung”. Kedua, sikap saya terhadap tulisan IND di media tersebut.

Tradisi lisan, menurut pemahaman saya, berangkat dari tradisi mantra, tidak dituliskan namun dihafalkan secara turun-temurun oleh pewarisnya dengan berbagai tujuan. Mantra dilisankan dengan “etika mantra”, yaitu tindakan setelah dilisankan, misalnya seorang dukun penyakit busung yang menyemburkan ludahnya (“puh puh puh”) ke perut yang sedang ia obati. Mantra dilisankan untuk menolak bala, menyuburkan tanaman, dan sebagainya. Akhirnya, tradisi mantra identik dengan perdukunan yang jika salah lisan tentu tidak berkhasiat apa-apa atau berkhasiat namun tidak sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mendukung pemahaman ini, saya menandai keterangan IND mengenai perilaku Masnuna terhadap “dadinya” dengan menggarisbawahi sebagai berikut:

Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Meskipun pada kalimat terakhir yang saya garis bawahi tersebut agak bertentangan tentang pemahaman saya bagaimana dadi dilisankan, saya menyadari bahwa dadi berangkat dari tradisi lisan yang memang perlu dipertegas dengan uraian-uraian lanjutan.

Kata tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Manusia memiliki kata karena ada variabel-variabel kata, yaitu kebutuhan manusia berkata-kata, kesepakatan manusia berkata-kata, dan kebolehjadian berkata-kata. Kebutuhan berkata-kata berhubungan dengan manusia sebagai makhluk individu yang “berketuhanan”, kesepakatan manusia berkata-kata berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial, dan kebolehjadian berkata-kata berhubungan dengan situasi dan tempat. Situasi dan tempat inilah yang menyebabkan munculnya bahasa manusia yang berbeda-beda. Bahasa sendiri, tidak ada satu manusiapun yang dapat membantahnya, berpengaruh dalam melahirkan kebudayaan. Sedangkan kelahiran tidak sama dengan penciptaan. Sebab itu, saya meyakini yang dilakukan penyair (sadar dan atau tanpa sadar) adalah melahirkan kata, dan pembentukannya (puisi) adalah proses setelahnya – seorang ibu melahirkan anaknya, tetapi yang membentuk anaknya tidak sepenuhnya ibunya. Dengan demikian, penciptaan adalah kekuasaan absolut tuhan dimana pernyataan “kata tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan” mendukung keabsolutan tuhan, yaitu nihilisme – ke”tidakada”an (gaib) mengharuskan ke”ada”an – ke”tidakhadir”an mengharuskan ke”hadir”an – (kedua pernyataan tidak dapat dibalik), sehingga saya menolak pernyataan berikut:

…. Keduanya mesti dibedakan . Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran. …. Baik jenis sastra maupun metode penyebarannya itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). ….

Adakah seni yang mandiri? Apakah tepat saya membandingkan dua hal yang sesungguhnya tidak dapat dibandingkan atau apakah tepat saya membedakan dua hal yang sesungguhnya tidak dapat dibedakan? Kemudian pernyataan rancu tersebut didukung oleh pernyataan rancu lainnya:

Sungguhpun demikian, keduanya – jenis dan metode penyebarannya –taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. ….

Bukankah hanya kekuatan teks [kebahasaanlah (metafora)] yang menjadi kekuatan sastra? Sebagus apapun penuturan seseorang terhadap karya sastra, bila kebahasaan karya sastra itu buruk, tetaplah buruk karya sastra itu, sehingga sering sekali kebanyakan penyair (menulis karya) terkesan mengejar aspek tutur ini (rima). Bukankah proses ini menandakan, penyair yang dimaksud, belum meninggalkan tradisi lisannya – sebagai bukti munculnya huruf vokal o, oi, ai, dalam bait sajak? Mari kita baca beberapa penggalan sajak berikut:

Sitor Situmorang

Lagu Gadis Itali

Kerling danau di pagi hari

Lonceng gereja bukit Itali

Jika musimmu tiba nanti

Jemputlah abang di teluk Napoli

….

Jimmy Maruli Alfian

BUKIT FATIMA 1

meski ia belum sempat kaubelikan sepatu

toh kakinya kuat melewati jurang matamu

ia tak kan gaduh karena sedih

toh sudah lama kakinya disepuh bak bijih

….

telapaknya mulai menatah parit dan kelokan

lutut sesekali mengerjap gemetar

menahan serbuan kenangan

menakar angan yang sebentar

….

TAMSIL DAMAR BATU

Puan, aku tumbuh di tengah retakan

sebelum ditanam, sekawanan gajah dan penjajah

lebih dulu mencecah tanah kelahiran

kini, kau tuntut aku subur seolah rempah

….

“oi, getah damar di hutan pesisir

panen pertama dibuat dupa

ulah dilamar lelaki khawatir

silsilah dijaga dengan senjata”

….

Berhenti sampai di situ, adanya sastra lisan merupakan konsekuensi logis variabel ketiga dari kata, yaitu kebolehjadian berkata-kata, sehingga perjalanan tradisi lisan ke tradisi tulis setiap daerah berbeda-beda pula. Salah satu faktor penting percepatan perubahan tradisi adalah “penemuan-penemuan” – penemuan tinta dan kertas di Cina, penemuan benua baru, dan sebagainya. Selain itu, penemuan didukung oleh faktor lainnya yang dimiliki manusia, yaitu “inisiatif”, yang pada akhirnya melahirkan “revolusi” (kata revolusi itu sendiri dan pemaknaannya). Jika inisiatif kita dekatkan dengan perencanaan, maka inisiatiflah yang membentuk sagata dalam setiap baitnya berpola a-b- a-b dan a-a-a-a, dadi berpola a-b-c-a-b-c (bait panjang) dan a-b-a-b (bait pendek), dan hahiwang berpola a-a-a-a-a-a-a-a …, yang dengan kesetiaan pewarisnya, tradisi sagata, dadi, hahiwang, dan sastra lisan Lampung lainnya dipertahankan. Mempertahankan karena dengan sadar, manusia, melibatkan dirinya ke dalam ketiga variabel kata, sehingga keunikan tradisi lisan itu menandakan keunikan manusia. Mempertahankan karena semakin sedikit pewarisnya. Mempertahankan karena semakin sepi peminatnya. Mempertahankan karena telah diwariskan kepadanya [di antaranya Masnuna (dadi), Hasbullah (dadi), dan Mamak Lawok (hahiwang)] secara lisan meskipun penikmatnya telah berkurang karena zaman. Mempertahankan karena keterhubungan antara pariwisata dan kebudayaan. Jika bukan karena kelisanannya, satu bait dadi dianggap sagata. Boleh sama pola, tetapi karena kelisanannya terlihatlah perbedaanya. Karena kelisanannya, dalam setiap pelisanan dadi disisipkan bunyi i atau e yang berbeda dengan pelisanan sagata. Dengan demikian, jika sastra Lampung yang dimaksudkan IND di antaranya sagata, dadi, dan hahiwang, maka sastra Lampung adalah sastra lisan.

Mengapa sastra lisan Lampung dituliskan?

Menurut pemahaman sebelumnya, faktor penting percepatan perubahan tradisi adalah penemuan. Tradisi lisan sastra Lampung tentulah karena belum adanya alat tulis di masa sastra Lampung yang dimaksud dilahirkan dan tradisi tulis sastra Lampung tentulah karena telah ada alat tulis di masa sastra Lampung yang dimaksud dilahirkan. Meskipun demikian, untuk memberangkatkan seseorang dari tradisi lisan ke tradisi tulis dibutuhkan “jembatan”, sehingga saya tidak begitu yakin bahwa penyair lisan pada masa pembangunan “jembatan” itu mampu menulis dan saya yakin ia akan mewariskan kelisanannya itu yang setelah sampai ke tradisi tulis karyanya dituliskan. Kelalaian manusialah yang menyebabkan ia menjadi anonim. Keanoniman inilah, menurut pemahaman saya, menjadi satu ciri sastra lisan. Selanjutnya, bagaimana membedakan karya sastra lisan Lampung dan sastra tulis Lampung bila kedua sastra tersebut dituliskan? Saya akan menjawabnya dalam tiga kalimat berikut: Dikatakan karya sastra lisan Lampung, dikarenakan karya sastra itu, dilisankan dan dituliskan. Dikatakan karya sastra tulis Lampung, dikarenakan karya sastra itu dituliskan dan dibacakan. Pelisanan berbeda dengan pembacaan.

Akhirnya, saya sertakan sagata dan dadi berikut sebagai penutup tulisan ini:

Api sai handak-handak

Handakni kumbang kupi

Ki niku demon dinyak

Tunggu pak tahun lagi

dan

Jak lunik hinjang lilik

Balak hinjang sekhilang

Jak lunik nyak ji sakik

Balak mak nungga senang.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.