SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 17 Desember 2011

Murid Baru


Hari Sabtu, kami kedatangan murid baru.
“Perkenalkan namamu!” kata ibu guru.

Kami ragu, ia lama membisu.

“Nak, perkenalkan namamu!” senyum ibu guru.

“Namaku Adam, baru saja turun dari Surga.”

Kami ragu, kami lama membisu.

“Hahaha…,” Herman memecah kesunyian.
Kami pun tertawa riang.

“Anak-anak, mohon tenang!” ibu guru meminta.

“Di mana Hawa? Apakah ia ikut turun juga dari Surga?” ibu guru bertanya.

“Ibu, please, deh, bukankah ibu, Maria?”

“Hahaha …,” Herman tertawa.
Kami pun tertawa riang gembira.

“Ya, sudah, mungkin kau lelah, nak. Di samping Herman, kursi begitu kosong. Mungkin di sana kau akan mulai mengenali tuhan,”

“Silahkan duduk, Adam!”

Ibu guru memulai pelajaran.

Menjaga Celana


Celana yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku yang lupa ikat pinggang, berani datang diam-diam, merapat ke dinding kelas-kelas. Bukannya pulang. Mataku, pasang mata curiga; siapa yang menggoyang-goyang pintu kelas; siapa yang menatap sambil menyapu; siapa yang kini di gerbang pintu. Ternyata, aku baru saja lewat dari ranjau, yang dipasang lengket di tiang bendera. Aku harus benar-benar menahan ketawa. Selintas, celana bisa saja tewas. “Pantek,” kata anak itu kesalnya. Aku tertawa. Hampir naas, aku menunduk sehingga tak terjangkau matanya. Diam-diam, aku jalan jongkok, memasuki kelasku, dengan mata tetap waspada.

“Aduh, PR-Ku lupa, di kelas kukejar saja.”

Celana yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku harus mengeluarkan baju sehingga menjaga keberadaannya.  Aku, tampaknya, akan lama bersitegang. Di bangku, kedua tanganku akan gemetaran. Aku akan keringatan. Kemudian, beberapa teman sekelas akan mulai tampak heran. Oky yang biasanya sarat menantang pinggang, kini baju dikeluarkan. Oky yang biasanya berloncat-loncatan, kini tampak duduk diam. Oky yang menampakkan mata yang ingin maju ke depan, kini tampak bertahan. Beberapa teman sekelas tampak mulai kompak membalas.

Di kelas, aku sendirian, kemudian pingsan.

Di UKS, akhirnya, kutemukan celana, dalam keadaan aman.

Wuih, aku dibuat pingsan olehnya.”.

Celana yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Tetapi kesementaraan, berlalu begitu saja. Aku datang kembali ke kelas. Mencoba siap menghadapi Herman. Wajahnya kembali buas, mendapati titik lemahku. “Serang celana!” ungkapnya. Seluruh mata teman-temanku, tertuju pada celana. Kami berkejar-kejaran. Aku bertipu-daya. Meleset dari setiap jangkauan tangan. Kemudian, ada wanita, aku berhenti berlari akhirnya. Celanaku tewas. Teman-temanku bersorak. Merdeka! Merdeka!

Tulung



Tulung pai kidah tulung
Tulung di buwokmu sai mekejung
Tulung tetok pak mak di khangok
Tulung tetok pak mesokhok

Tulung pai kidah tulung
Tulung ngimut di tahi manang
Induh ya bai, induh ya mekhanai
Sapa ya, asal tiguwai

Tulung pai kidah tulung
Dang sasing, dang senggayakh di cawa sasing
Pak kutti mak di tebing
Pak kutti mak di bias senga catting

Tulung pai kidah tulung
Mekhanok pai di ulumu
Kanah salah sai ti guting
Kanah meliam mula ni tippang

Tulung di tulung-tulung
Tulung ya bulajakh ngehappun.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.