SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Minggu, 02 Januari 2011

Keberaksaraan Sastra Lisan Lampung

Setelah membaca tulisan Iwan Nurdaya Djafar (IND) di Lampung Post, 19 Desember 2010, menarik minat saya memahami kembali “kelisanan” sebuah karya sastra. Pertama, saya mencoba menjawab kembali pertanyaan yang akan menjadi dasar tulisan ini, yaitu apa, mengapa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana “sastra lisan Lampung”. Kedua, sikap saya terhadap tulisan IND di media tersebut.

Tradisi lisan, menurut pemahaman saya, berangkat dari tradisi mantra, tidak dituliskan namun dihafalkan secara turun-temurun oleh pewarisnya dengan berbagai tujuan. Mantra dilisankan dengan “etika mantra”, yaitu tindakan setelah dilisankan, misalnya seorang dukun penyakit busung yang menyemburkan ludahnya (“puh puh puh”) ke perut yang sedang ia obati. Mantra dilisankan untuk menolak bala, menyuburkan tanaman, dan sebagainya. Akhirnya, tradisi mantra identik dengan perdukunan yang jika salah lisan tentu tidak berkhasiat apa-apa atau berkhasiat namun tidak sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mendukung pemahaman ini, saya menandai keterangan IND mengenai perilaku Masnuna terhadap “dadinya” dengan menggarisbawahi sebagai berikut:

Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Meskipun pada kalimat terakhir yang saya garis bawahi tersebut agak bertentangan tentang pemahaman saya bagaimana dadi dilisankan, saya menyadari bahwa dadi berangkat dari tradisi lisan yang memang perlu dipertegas dengan uraian-uraian lanjutan.

Kata tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Manusia memiliki kata karena ada variabel-variabel kata, yaitu kebutuhan manusia berkata-kata, kesepakatan manusia berkata-kata, dan kebolehjadian berkata-kata. Kebutuhan berkata-kata berhubungan dengan manusia sebagai makhluk individu yang “berketuhanan”, kesepakatan manusia berkata-kata berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial, dan kebolehjadian berkata-kata berhubungan dengan situasi dan tempat. Situasi dan tempat inilah yang menyebabkan munculnya bahasa manusia yang berbeda-beda. Bahasa sendiri, tidak ada satu manusiapun yang dapat membantahnya, berpengaruh dalam melahirkan kebudayaan. Sedangkan kelahiran tidak sama dengan penciptaan. Sebab itu, saya meyakini yang dilakukan penyair (sadar dan atau tanpa sadar) adalah melahirkan kata, dan pembentukannya (puisi) adalah proses setelahnya – seorang ibu melahirkan anaknya, tetapi yang membentuk anaknya tidak sepenuhnya ibunya. Dengan demikian, penciptaan adalah kekuasaan absolut tuhan dimana pernyataan “kata tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan” mendukung keabsolutan tuhan, yaitu nihilisme – ke”tidakada”an (gaib) mengharuskan ke”ada”an – ke”tidakhadir”an mengharuskan ke”hadir”an – (kedua pernyataan tidak dapat dibalik), sehingga saya menolak pernyataan berikut:

…. Keduanya mesti dibedakan . Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran. …. Baik jenis sastra maupun metode penyebarannya itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). ….

Adakah seni yang mandiri? Apakah tepat saya membandingkan dua hal yang sesungguhnya tidak dapat dibandingkan atau apakah tepat saya membedakan dua hal yang sesungguhnya tidak dapat dibedakan? Kemudian pernyataan rancu tersebut didukung oleh pernyataan rancu lainnya:

Sungguhpun demikian, keduanya – jenis dan metode penyebarannya –taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. ….

Bukankah hanya kekuatan teks [kebahasaanlah (metafora)] yang menjadi kekuatan sastra? Sebagus apapun penuturan seseorang terhadap karya sastra, bila kebahasaan karya sastra itu buruk, tetaplah buruk karya sastra itu, sehingga sering sekali kebanyakan penyair (menulis karya) terkesan mengejar aspek tutur ini (rima). Bukankah proses ini menandakan, penyair yang dimaksud, belum meninggalkan tradisi lisannya – sebagai bukti munculnya huruf vokal o, oi, ai, dalam bait sajak? Mari kita baca beberapa penggalan sajak berikut:

Sitor Situmorang

Lagu Gadis Itali

Kerling danau di pagi hari

Lonceng gereja bukit Itali

Jika musimmu tiba nanti

Jemputlah abang di teluk Napoli

….

Jimmy Maruli Alfian

BUKIT FATIMA 1

meski ia belum sempat kaubelikan sepatu

toh kakinya kuat melewati jurang matamu

ia tak kan gaduh karena sedih

toh sudah lama kakinya disepuh bak bijih

….

telapaknya mulai menatah parit dan kelokan

lutut sesekali mengerjap gemetar

menahan serbuan kenangan

menakar angan yang sebentar

….

TAMSIL DAMAR BATU

Puan, aku tumbuh di tengah retakan

sebelum ditanam, sekawanan gajah dan penjajah

lebih dulu mencecah tanah kelahiran

kini, kau tuntut aku subur seolah rempah

….

“oi, getah damar di hutan pesisir

panen pertama dibuat dupa

ulah dilamar lelaki khawatir

silsilah dijaga dengan senjata”

….

Berhenti sampai di situ, adanya sastra lisan merupakan konsekuensi logis variabel ketiga dari kata, yaitu kebolehjadian berkata-kata, sehingga perjalanan tradisi lisan ke tradisi tulis setiap daerah berbeda-beda pula. Salah satu faktor penting percepatan perubahan tradisi adalah “penemuan-penemuan” – penemuan tinta dan kertas di Cina, penemuan benua baru, dan sebagainya. Selain itu, penemuan didukung oleh faktor lainnya yang dimiliki manusia, yaitu “inisiatif”, yang pada akhirnya melahirkan “revolusi” (kata revolusi itu sendiri dan pemaknaannya). Jika inisiatif kita dekatkan dengan perencanaan, maka inisiatiflah yang membentuk sagata dalam setiap baitnya berpola a-b- a-b dan a-a-a-a, dadi berpola a-b-c-a-b-c (bait panjang) dan a-b-a-b (bait pendek), dan hahiwang berpola a-a-a-a-a-a-a-a …, yang dengan kesetiaan pewarisnya, tradisi sagata, dadi, hahiwang, dan sastra lisan Lampung lainnya dipertahankan. Mempertahankan karena dengan sadar, manusia, melibatkan dirinya ke dalam ketiga variabel kata, sehingga keunikan tradisi lisan itu menandakan keunikan manusia. Mempertahankan karena semakin sedikit pewarisnya. Mempertahankan karena semakin sepi peminatnya. Mempertahankan karena telah diwariskan kepadanya [di antaranya Masnuna (dadi), Hasbullah (dadi), dan Mamak Lawok (hahiwang)] secara lisan meskipun penikmatnya telah berkurang karena zaman. Mempertahankan karena keterhubungan antara pariwisata dan kebudayaan. Jika bukan karena kelisanannya, satu bait dadi dianggap sagata. Boleh sama pola, tetapi karena kelisanannya terlihatlah perbedaanya. Karena kelisanannya, dalam setiap pelisanan dadi disisipkan bunyi i atau e yang berbeda dengan pelisanan sagata. Dengan demikian, jika sastra Lampung yang dimaksudkan IND di antaranya sagata, dadi, dan hahiwang, maka sastra Lampung adalah sastra lisan.

Mengapa sastra lisan Lampung dituliskan?

Menurut pemahaman sebelumnya, faktor penting percepatan perubahan tradisi adalah penemuan. Tradisi lisan sastra Lampung tentulah karena belum adanya alat tulis di masa sastra Lampung yang dimaksud dilahirkan dan tradisi tulis sastra Lampung tentulah karena telah ada alat tulis di masa sastra Lampung yang dimaksud dilahirkan. Meskipun demikian, untuk memberangkatkan seseorang dari tradisi lisan ke tradisi tulis dibutuhkan “jembatan”, sehingga saya tidak begitu yakin bahwa penyair lisan pada masa pembangunan “jembatan” itu mampu menulis dan saya yakin ia akan mewariskan kelisanannya itu yang setelah sampai ke tradisi tulis karyanya dituliskan. Kelalaian manusialah yang menyebabkan ia menjadi anonim. Keanoniman inilah, menurut pemahaman saya, menjadi satu ciri sastra lisan. Selanjutnya, bagaimana membedakan karya sastra lisan Lampung dan sastra tulis Lampung bila kedua sastra tersebut dituliskan? Saya akan menjawabnya dalam tiga kalimat berikut: Dikatakan karya sastra lisan Lampung, dikarenakan karya sastra itu, dilisankan dan dituliskan. Dikatakan karya sastra tulis Lampung, dikarenakan karya sastra itu dituliskan dan dibacakan. Pelisanan berbeda dengan pembacaan.

Akhirnya, saya sertakan sagata dan dadi berikut sebagai penutup tulisan ini:

Api sai handak-handak

Handakni kumbang kupi

Ki niku demon dinyak

Tunggu pak tahun lagi

dan

Jak lunik hinjang lilik

Balak hinjang sekhilang

Jak lunik nyak ji sakik

Balak mak nungga senang.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.