“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”
...
ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah
menutup doanya.
sebelum tidur.
Samping Rumah
Selasa, 25 Januari 2011
Cinta
seperti buku-buku, seperti formulasi baku
tentang waktu, kita seperti
tidak pernah pergi dari tekanan.
ia sangat tampak. Sangat tinggi.
Di hati yang tertusuk, ia adalah
penyesalan. Tetapi, setiap yang pernah
mampir akan dikenang sampai mati.
Kembali ke Rumah
apa yang tak sengaja kita tinggalkan. Tetapi kau akan
telat. Tidak apa-apa. Lagi pula, lelaki, tidak sepenuhnya
pernah pergi.
Capai
tak ada menu pagi hari yang sampai malam ini.
makan terasa berat karena niat pergi ke barat
telah lewat. …
aku baru saja pulang.
dan tidak sesiapapun kutemukan di depan.
Kota Hujan
anak-anak kota turun ke jalan, menyewakan payung dan senyuman.
Bandarlampung, mungkin saja, telah menjadi kota hujan;
anak-anak kota turun ke jalan, menyewakan payung dan senyuman;
menanyakan kembali harapan-harapan.
Bandarlampung, mungkin saja, telah menjadi kota hujan;
anak-anak kota turun ke jalan, menyewakan payung dan senyuman;
menanyakan kembali harapan-harapan;
meski dingin semakin riang;
meski dalam kalimat, berulang-ulang.
Desember
tak menentu. Hujan menipu, jalanan yang menjadi lengang, dan
pakaianku yang basah sebagian. Di Koga, aku memutuskan
berlindung sementara, dari perilakumu yang (mungkin) juga
sementara.
Tanda Lahir
berwarna hitam atau coklat tua di dada – beberapa helai
rambut tumbuh dan mengakar sangat dalam sehingga jantung
kadang berdenyut agak lamban. Atau berdetak semakin kencang
saat mengingat kematian. Mungkin sekali, karena tanda lahir
kita yang sama, kau mengerti, kalimat-kalimat yang baru
saja hadir lepas di hadapan, seperti dada yang terbuka
menyambut kedatangan mayat saya.
Riwayat
ia bertanya-tanya.
apakah aku terlalu memaksa?
sesuatu yang lepas dari jahitan, sesuatu (yang mungkin)
lelah menerima banyak sentuhan.
tetapi, yang lepas tetap utuh.
ia mulai menolak pertanyaan.
di dalam setiap pertanyaan, ada jawaban.
bulan emas di atas cemas
di dalam hati yang ditinggalkan,
banyak luka bekas tusukan.
ia mulai kehilangan malam.
Ia yang Menulis Tentang Dirinya
suatu hari, ia akan renta. Telah jauh dari peristiwa. Ia akan tidak berdaya lagi
dari berkata-kata. Tidak akan ada lagi yang mendengarkannya; mungkin karena ia
akan diam saja. Suatu hari, yang dapat ia lakukan hanya menulis, dan menulis saja – entah, mungkin bukan untuk sesiapa. Entah, mungkin juga bukan untuk dirinya. Maka ia
akan tampak sangat sekarat, karena dirinya dan lingkungannya. Tetapi, ia akan tetap
diam saja. Lalu ia akan mengingat-ingat apa yang sempat tumbuh di halaman depan
rumahnya. Sesiapa saja yang pernah menegurnya. Sesiapa saja yang pernah –
memanggilnya dengan sangat lantang. Wuy, api guway? Midokh, pah! Sesiapa
yang pernah membuat ia yakin bahwa di halaman depan rumahnya dapat untuk
tidak dapat dijaga. Maka, menurutnya kelak, meninggalkan halaman rumahnya adalah
kehilangan yang sementara.
Laman
Pembunuh Sandal
Sandal:
21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.
"Tadi, ngapain aja di sekolah?"
"Aku ada ujian mendadak."
"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."
"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."
Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.