SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Minggu, 30 Januari 2011

Pembunuh Sandal

 

1

Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

 

2

Aku merenggut nyawanya secara beruntun. Tidak dengan tikaman tetapi dengan sayatan. Kuiris-iris ia di atas meja makan saat semua perseteruan selesai. Ia bersikap dingin di bawah kursi sedangkan aku bersikap penting di atas kursi. Jarum jam, saat itu, bersentak-sentak. Kita menolak semua percakapan yang hangat. Karena dengan kehangatan kita menyederhanakannya, dan selesai. Sedangkan seharusnya, kita menguraikan, apa yang telah kita santap di meja makan. Kau memandangnya dari bawah kursi sedangkan aku memandangnya dari atas kursi. Kau tersungkur pada sudut pandang yang lancip, aku tersingkir pada garis bias yang ganjil. Aku menganggap diriku sebagai pantulan sedangkan kau menganggap dirimu sebagai seorang insinyur bangunan. “Apakah perspektif cahayaku salah sehingga kau menganggap penggambaranku terhadap raut muka sungguh payah dan longgar – kau menganggapku tidak teliti pada setiap lekuk pipi?”. Di suasana yang dingin, kau menganggapku pembohong. Di suasana yang hangat, kau menganggapku penjilat. Maafkan aku menumpahkan liur. Karena hanya itulah yang tak dapat kuatur. Sudah kucoba; menghilangkan semua yang ada di atas meja.

 

3

Aku iri padamu. Di atas meja ini, kau seperti penguasa. Aku iakan setiap kata-kata yang jelas tergambar dari perubahan bias warnamu. Aku terima setiap silogisme yang berdenyut di kantung mataku. Tetapi, saat-saat ini, aku lebih menyukai angka nol atau sebuah lingkaran. Jari telunjuk tanganku menggores-goreskannya pada lantai seperti ini. Sesekali mataku membelalak, kemudian jari telunjukku menunjuk-nunjuk ke plapon. Seperti ini. Ya, seperti ini. Aku terpojok dari setiap lingkaran yang tak pernah tergoreskan di atas lantai. Aku menepuk-nepuk kepalaku dengan tangan kanan. Tangan kiriku sejenak kemudian mengiakan dengan sangat patah. Ia tak cekatan menilai mana yang kepala dan mana yang udara. Selalu ia pukulkan ke udara. Jari-jari tangan kananku meremas-remas kepala. Jari-jari kiriku membantai udara.

  

4

Tidak lama setelah ia hancur, aku ikut hancur. Rumah hancur. Langkah-langkah patah. Jalan-jalan tak terhubung. kebingungan-kebingungan terapung. Kesaksian datang. Arah pandang berubah. Lengan lelah. Ada tamu mengetuk pintu.

 

5

Tetapi tamu, tidak hadir siang itu. Kecuali ingatan kita yang hangat mengenai siring yang kering, dan rumput yang tumbuh di dasar dinding. Kau cemburu saat itu, karena sepatu telah pergi bersamaku, meloncati pagar coklat tua, berangkat ke sekolah. “Mengapa aku tak pernah berhak berada di bangku sekolah?”. Lelaki yang hatinya runtuh, berdiri tegak menghadap ke tembok, “Tunggulah di rumah, nanti aku ceritakan apa yang kudapatkan dari sekolah. Aku belum mau ambil resiko.”

 

Percakapan kami berhenti. Dan apa yang pernah aku janjikan tidak pernah aku ceritakan. Kami sama-sama diam, sama-sama mulai beranjak, sama-sama mengerti, untuk tidak pernah berkata-kata lagi. Tentang pertanyaan yang penting, tentang hari yang penting.

 

Karena itu, apa yang kulihat mengenai pintu, apa yang kuingat mengenai dinding, bukan mengenai siapa yang ada di luar, melainkan pembatas yang luas, sehingga untuk mengetahui kita membutuhkan kunci. Tetapi kunci tidak kutemukan dari tadi. Kecuali sisa tenaga untuk membuka jendela, menggeser sofa, atau menggeser gorden yang lusuh dan tua. “Kami telah memberi tralis setiap jendela, berharap setiap yang datang, tak pernah berniat mengambil.”. Kalender menjelma menjadi sebatang pohon besar. Daun-daunnya berserakan di ruang depan. Beberapa di antaranya retak terinjak. Dan yang berdiam diri dari kunci, tak pernah mencari. “Apakah penting mengetahui, apa yang ada di luar rumah ini?”. Mungkin akan ada yang bertanya-tanya, tentang sesiapa yang terpenggal di atas meja. Tentang peribahasa, atau yang terkunci di dalam lemari. Atau sesiapa yang baru saja lari setelah menggeser tubuh sofa, sehingga menjauh dari jendela. Atau lampu yang belum kita padamkan. Kran air yang belum kita matikan. Atau gelas yang tak jelas, selesai atau sudah, terpakai di dalam rumah.

6

Mungkin rumah terlalu lelah untuk selesai merapihkan isinya. Ada yang bergegas mencuci beras. Ada yang berdiam diri menyulut api. Di rak, beberapa piring berdenting dan mengucurkan air. “Kau hadir malam itu?”. “Tidak sempat. Aku banyak pekerjaan.”. “Tanpamu, bagaimana kita bisa mengirimkan salam, sedangkan aku tunduk di dalam rumah.”. “Ia, aku mengerti. Kita akan ucapkan lain kali. Saatnya kita harus tidur. Sudah larut.” “Tetapi siang hari, bukan milikku, milik sepatu.”. Beras yang telah berhasil ditanak seperti dilupakan memiliki hak. Langkah yang bergegas menjadi lamban. Api mulai padam. Sumbu kompor bergerak, meninggalkan permukaan. Di permukaan, air dalam panci tampak begitu tenang. Seperti ada yang ia simpan sangat dalam.

 

7

“Mengapa kau tidak pernah ingin pergi, dan kembali-kembali lagi?”.

8

Aku tetap memilih melangkah, meninggalkan sandal dan rumah. Di punggungku, kaca seperti lelah, tergelincir dari daun jendela, dan pecah. Dan angin akan mulai menelisik, memilih masuk lewat jendela yang telah pecah kacanya, bergerak sampai ke setiap sudut.

 

“Setiap rumah yang telah disapu, kami sebarkan kembali debu.”.

 

Lelaki itu tetap saja melangkah.

 

“Setiap yang pernah pergi tidak pernah pergi.”

 

9

Aku mengerti. Kau ingin sekali kembali. Beberapa waktu yang lalu, saat sebelum kau sayat-sayat diriku. Saat sebelum lenganku kau buat putus. Menyentak, karena aku yang elastis. Tetapi semuanya telah kau lakukan. Aku telah baka. Dan jika benar ini, bukan pikiran-pikiranmu saja. Semuanya, sudahlah. Aku mengerti. Ini semua karena perkerjaan. Ini semua karena kau telah ditolak.

 

 

PERJAMUAN SANDAL

di tangan yang gemetar, aku menjamumu, dengan sepasang
sandal yang telah hilang. Di perjamuan ini, sandal, tidak akan
kita bicarakan lagi sebagai objek, tetapi subjek – pelaku
kehidupan ini. Karena kepergian baginya adalah tugas dan
kehilangan adalah kepudaran sudut pandang. Di perjamuan ini,
kita tidak perlu lagi membayangkan sisa jejaknya yang tertinggal
di ujung gang, atau merapat ke teras depan. Karena pengetahuan
kita, mengharuskannya tidak pernah mengetuk pintu, mengucap
sebaris kalimat untuk menyatakan kehadirannya yang sangat.
di perjamuan ini, sempatkan saja oleh kita untuk tidak berkata-kata
dusta. Berhenti sejenak, untuk tidak melukai perasaannya. Dan
setelah ia tiada, dan setelah jelas letak penguburannya, kesediaan
kita untuk meneruskan apa yang disukainya sejak lama. Terputus,
dan tidak dibuang pemiliknya.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.