SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Jumat, 24 Juni 2011

Catatan ke 26

sejarah tidak pernah menumpahkan darah di dalam rumah.

o.s. 20/06/2011

Catatan ke 25

sumur tanpa dasar, tak pernah mengeluarkan air.

11 Desember 2010

Sesuduk

Jejak siapa yang akan tertinggal, di rumah yang telah kehilangan pangeran? Catatan-catatan di buku, kau baca ulang. Ada nama baru. Ada nama kawan lamamu. Ada nama yang kau ingat, namun tak tercatat. “Dasar adat,” katamu. Maka kau mulai menepis ketakhadiran orang-orang; yang mati karena tabrakan; yang mati karena tergelincir ke jurang dan tertimpa beban; yang mati karena ditusuk dari belakang; - atau yang mati karena usia sudah menginjak enampuluhan. Kau berangkat, bahwa buku catatanmu telah lengkap. Jejak siapa yang akan tertinggal, di rumah yang telah kehilangan pangeran? “Jejak bapakku,” katamu.

Jam 3

Jam 3
Aku membasuh muka
Di bak
Yang telah mati krannya
Dan tidak lagi kutemukan kata
Yang sembahyang atau berdoa
Bagi mereka yang terlelap sementara.

Pembunuh Sandal

10

Di pesta dansa, kau membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak ingin pulang.

11

Tetapi, sebuah pesan singkat dari hand phone-mu, membuat singkat perjamuan. Kau seperti memikirkan sesuatu yang ada di luar. Kau membuat kursi terdorong menjauhi meja. Membuat kaget sehelai taplak sehingga sudut kakinya agak terangkat. Namun orang-orang tidak ingin berhenti berdansa sehinga tuts musik agak berubah, takut beberapa orang yang berpikir “ada apa?” mulai salah mengayun langkah. Ya, taman kota, dan lampu Tanjung Karang, seperti ingin menghindar dari gusar dan gurauan orang-orang.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.