Aku:
13.
Diusiaku yang akan ke 23, di bulan
Oktober, hujan hanya turun sekali. Ketika itu, kubiarkan ia basah sepanjang
jalan. Kubiarkan ia turut menekan, rem atau gigi. Mantelku tebal. Dinding
pandangku tebal. Hatiku takut lepas. Ketika itu, katamu, “di sekolah, sepatu
tidak boleh basah.”.
Sepatu:
14.
Tidakkah
kau memahamiku sebagai pengganjal – hubunganmu dengan sandal. Ketika itu,
ketika kita beranjak diperlukan. Ketika kita mulai berjalan pada kepentingan
masing-masing – aku yang menjadi penting karena keberadaan kau.
Tidakkah
kau memahamiku sebagai hal yang pantas di atas teras kelas – meski seberapa
buruk aku bagi kenyamanan kau – membaca, menghitung, bahkan menyadarkan guru
yang kelewat keliru, bahwa jam pelajarannya
telah lama berlalu, bahwa bel tidak lagi ia dengar sebagai pergantian.
Tidakkah
kau memahamiku hanya sebagai perjalanan, yang harus, yang harus kau lewatkan.
Aku tidak pernah mengajukan. Aku hanya menjadikan.
Dan
aku menderap, bagai langkah tank baja. Menghadapi gerbang sekolah yang hanya
terbuka sementara, kemudian menutup diri kita selamanya.
Dan
kau gelisah, sebab tidak pernah bisa pulang ke rumah.
Di papan tulis, kau tidak juga bisa
menulis angka delapan, sampai tangan gurumu menggapai tanganmu. “Nak, angka
delapan itu bukan dua lingkaran. Tetapi seperti ini. Seperti perasaan.” kata
gurumu yang kelewat sabar. “Tapi, bu, sama saja, sama saja.” Katamu. “ Tapi
nak,” kata gurumu, “ini sudah baku.” “Tapi, kan, perhitunganku benar, bu. Ibu
juga tahu maksudku, itu angka delapan. Apakah kebenaran tidak lebih penting
dibandingkan dengan kebakuan? Apakah kebenaran menjadi tidak benar, bu, karena
tulisanku tidak baku? Ini angka delapanku, bu. Ini, aku.”. “Tapi ini angka delapan,
ibu, nak. Ini ibu, nak. Kau percaya, kan, dengan ibu? Percayalah, kau akan
selamat di hadapan orang-orang baku itu.”
Di hadapan papan tulis,
membelakangi teman-temanmu, di kepercayaan gurumu, kau berhasil menulis. Dan
aku, saksi yang paling menangis. Kemudian kita melangkah, mendekati kursi,
mendekati meja, mendekati jendela, medekati kata-kata.
Aku:
15.
Di istirahat pertama, setengah jam
saat bel masuk akan tiba, aku memilih untuk tidak pergi ke kantin, tetapi
datang kembali, menemui pelepah pohon kelapa. Aku terus saja berayun-ayun
diketinggiannya. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Memanjat tembok
sekolah. Berayun-ayun. Dan melompat sampai ke tanah.