SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Rabu, 23 November 2011

Pembunuh Sandal (13,14, dan 15)


Aku:

13.
Diusiaku yang akan ke 23, di bulan Oktober, hujan hanya turun sekali. Ketika itu, kubiarkan ia basah sepanjang jalan. Kubiarkan ia turut menekan, rem atau gigi. Mantelku tebal. Dinding pandangku tebal. Hatiku takut lepas. Ketika itu, katamu, “di sekolah, sepatu tidak boleh basah.”.
Sepatu:

14.
Tidakkah kau memahamiku sebagai pengganjal – hubunganmu dengan sandal. Ketika itu, ketika kita beranjak diperlukan. Ketika kita mulai berjalan pada kepentingan masing-masing – aku yang menjadi penting karena keberadaan kau.

Tidakkah kau memahamiku sebagai hal yang pantas di atas teras kelas – meski seberapa buruk aku bagi kenyamanan kau – membaca, menghitung, bahkan menyadarkan guru yang kelewat keliru, bahwa jam pelajarannya  telah lama berlalu, bahwa bel tidak lagi ia dengar sebagai pergantian.

Tidakkah kau memahamiku hanya sebagai perjalanan, yang harus, yang harus kau lewatkan. Aku tidak pernah mengajukan. Aku hanya menjadikan.

Dan aku menderap, bagai langkah tank baja. Menghadapi gerbang sekolah yang hanya terbuka sementara, kemudian menutup diri kita selamanya.

Dan kau gelisah, sebab tidak pernah bisa pulang ke rumah.

Di papan tulis, kau tidak juga bisa menulis angka delapan, sampai tangan gurumu menggapai tanganmu. “Nak, angka delapan itu bukan dua lingkaran. Tetapi seperti ini. Seperti perasaan.” kata gurumu yang kelewat sabar. “Tapi, bu, sama saja, sama saja.” Katamu. “ Tapi nak,” kata gurumu, “ini sudah baku.” “Tapi, kan, perhitunganku benar, bu. Ibu juga tahu maksudku, itu angka delapan. Apakah kebenaran tidak lebih penting dibandingkan dengan kebakuan? Apakah kebenaran menjadi tidak benar, bu, karena tulisanku tidak baku? Ini angka delapanku, bu. Ini, aku.”. “Tapi ini angka delapan, ibu, nak. Ini ibu, nak. Kau percaya, kan, dengan ibu? Percayalah, kau akan selamat di hadapan orang-orang baku itu.”

Di hadapan papan tulis, membelakangi teman-temanmu, di kepercayaan gurumu, kau berhasil menulis. Dan aku, saksi yang paling menangis. Kemudian kita melangkah, mendekati kursi, mendekati meja, mendekati jendela, medekati kata-kata.

Aku:
15.
Di istirahat pertama, setengah jam saat bel masuk akan tiba, aku memilih untuk tidak pergi ke kantin, tetapi datang kembali, menemui pelepah pohon kelapa. Aku terus saja berayun-ayun diketinggiannya. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Memanjat tembok sekolah. Berayun-ayun. Dan melompat sampai ke tanah.



Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.