SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Minggu, 03 Maret 2013

Cinta

Cinta yang diturunkan,
dalam darah, dalam daging,

dalam daging, dalam darah
melebur tanpa kata-kata

Cinta yang dinaikkan,
baru saja berangkat,
mereda dalam doa,

menghitmat.

Irama Lain Kesedihan

aku tetap memilih kesedihan, kelopak mawar pelan-pelan mengkisut, layu dalam kalbu. mengatakan, ya, untuk yang tak pernah mungkin.

kita jalani saja, dan tetap memilih kesedihan sebagai ujung tombak keberadaan. bertahan, berpaling dari mengemisi hari yang terus saja terik, serta mulai bersikap dingin terhadap kehidupan. "peradaban," katamu, "yang tetap menghindar."

kita kehilangan, suara-suara kian basi. lelaki datang untuk tak pernah kembali. dan perasaanku; toilet semakin miring ke kiri. kenyamanan lenyap dalam target. tekanan menyusut sampai ke ulu hati. seperti mawar; mekar, lalu abai pesona. indah; lalu abai menatap.

dan kita; yang kecil ini, diatur untuk bicara. diarahkan, mewacana kemana-mana. sebab yang hilang, katamu, yang berterus terang.

maka, kita sependapat, untuk memelihara kesedihan, menyiapkannya berkesudahan, dan bangkit. melangkah seperti biasa. bersikap, seperti tak pernah mengerti. diam, seperti bicara, yang tak memberikan apa-apa. kecuali hanya lubang, lubang baru, menutup perlahan karena hujan, dan berangsur-angsur dijaga untuk tak pernah diungkapkan. dijaga pulih oleh kesedihan.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.