SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Selasa, 07 Mei 2013

Pembunuh Sandal

Aku:

20

Hari itu, aku ingin meninggalkan bising. Dan mendapati rumah, sudah aku rapihkan. Kita jalani hidup ini. Menyusuri halaman, teras, ruang tamu, dua kamar itu, dan dapur. Di dapur, kita temui tikus curut, meloncat karena takut.

"Dapur tampaknya habis perang." katamu.

"Tikusnya tidak hanya satu, tapi tiga, sembunyi di bawah lemari.".

Aku bungkam. Kau tampak kesal. Rumah tampaknya, tak dapat lagi dilindungi.

Sandal:

21

Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.

Tiyuh Api


Didapatinya unggas terseok tengah hari. Dusun lengang. Beberapa orang berjaga-jaga di rumah.

Beberapa lagi, sudah bergegas ke atas bukit. Cahaya tampak tidak turun. Seketika, berita itu

ingin ia pastikan. Ketakutan, dan tumbangnya ratusan pohon …. Keinginan, dan lada yang hampir hilang .... Menjadikan matanya, seperti mata pemburu.  "Sekawanan gajah turun gunung," begitu yang ia dengar. Tengah malam, bapakmu terpulas, anjung nahas diterabas.

Hatiku, dihadapkan pada kerinduan. Hari itu, aku ingin kepangkuan tiyuh. Aku dapati sepanjang pekan turun hujan. Dan aku tahu, hutan di bukit semakin sedikit. Kali mulai dangkal. Rumpun bambu; gigi-gigi yang sudah lama tanggal.

Di rumah, tidak ia temui bapak. Bapak, ikut serta rombongan, coba mengusir. Tanah tidak lagi aman. Gajah mengamuk. Dakhak hilang bentuk. Dan di dusun, kita kehilangan bubandung.

Selepas kerja, aku mulai membenci kesibukan. Waktu tampaknya berhenti. Punggungku pegal. Aku dijangkiti radang, dan perut yang kusut. Tampaknya, rumahku mulai berlaku surut.

belum selesai ....

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.