SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Oktober 2013

Murid Baru

Hari Sabtu, kami kedatangan murid baru.
“Perkenalkan namamu!” kata ibu guru.

Kami ragu, ia lama membisu.

“Nak, perkenalkan namamu!” senyum ibu guru.

“Namaku Adam, baru saja turun dari Surga.”

Kami ragu, kami lama membisu.

“Hahaha…,” Herman memecah kesunyian.
Kami pun tertawa riang.

“Anak-anak, mohon tenang!” ibu guru meminta.

“Di mana Hawa? Apakah ia ikut turun juga dari Surga?” ibu
guru bertanya.

“Ibu, please, deh, bukankah ibu, Maria?”

“Hahaha …,” Herman tertawa.
Kami pun tertawa riang gembira.

“Ya, sudah, mungkin kau lelah, nak. Di samping Herman, kursi
begitu kosong. Mungkin di sana kau akan mulai mengenali
tuhan,

silahkan duduk, Adam!”

Ibu guru memulai pelajaran.


Selagi Rambutmu Surut

lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu;
kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
tak habis-habisnya kita mencari cara.


Konsisten

kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan.
tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.
tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan.
selintas memang, kau melihatku agak marah,
rumah yang telah lama kita bangun,
hancur; atau terlanjur digusur.
“surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.
tapi cinta kita lengkap.

seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur
tidak berkata-kata; atau menanyakan
silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah
yang turun-temurun terkubur bersama,
seseorang yang mungkin kamu; tetangga.

kita, atau mungkin kamu, telah memilih jalan ini,
yang terlanjur diproyek menikung, dan tentu tahu
resiko salah berhitung.

Juru Penanya Pertama

mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh dariku?

mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?

seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan berjalan kaki
saja, tentu kau tahu jawabanku. Tentu.

Juru Selamat Kedua

(gravitasi)

kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan gavitasi. Tapi
kali ini, dia (mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu.
aku bukan orang yang takut dengan ketinggian. Seperti yang
kau duga sebelumnya. Tapi aku memang takut jatuh. Semula
aku percaya, jika kita tidak terpaksa sedikitpun terjun dari suatu
ketinggian; pada saat itulah kita sadar; ketinggian bukanlah
sesuatu yang perlu ditakuti. Tapi sebuah harapan. Mungkin juga
sebuah 'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu.
ketika kau membaca blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara
kita, sesungguhnya hanyalah sebuah konversi dari kilobyte
ketinggian. Tak sampai 10 m untuk jatuh.

Juru Selamat Pertama

(percepatan)

kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa menggosok
gigi. Habis mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku.
Bantal guling bau pesing”. Dan aku, mungkin, baru saja
menyelesaikan administrasi. “Anda harus mendaftar jika ingin
masuk penjara. Jika anda ada uang, bisa kami percepat”. Anda
tahu, sebelum masuk penjara saja, kami harus mengantri. Dua
jam, mungkin, dari anda mandi sampai mengentri data lagi.

Pergi Dari Rumah

mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa yang kelak
kau santap di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu
sempurna. Tergantung kita merasakannya. Kau ingin pergi
juga? Sebentar lagi senja. Dan rumah-rumah yang akan kau
tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman sepi.
atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras
depan. Dasar tak tahu aturan. Orang-orang mengatai kita,
bahwa setiap senja, kita telah tidak setia. Seharusnya kau bicara,
pengertian selalu berawal dari rencana. Setelah senja, kita

memilih pergi dari rumah. Beberapa tetangga, melihat-lihat saja.

Atom

apakah kau masih percaya pada kedudukan angka_ ; yang
telah merepresentasikan kata sehingga kita tertib pada rumus
umumnya? Apakah kau masih percaya_; pada sifat fisik benda
saja sehingga kau berkeliling di kulit, diameter, dan
kemungkinan jari-jarinya? Apakah kau masih percaya_ ; cinta
menyertai kita pada spin yang tetap terjaga? Apakah kau masih
percaya_ ; yang kau representasikan itu adalah kata? Tidak.
karena kata adalah cinta.

Rumah Di Atas Kertas

rumah yang akan kita bangun kelak, dinda, adalah rumah yang
dibangun di atas sebidang kertas. Tanpa halaman, tanpa garis
bantu kata-kata. Tanpa penjaga, tukang kebun, dan perempuan
renta. Hanya ada kau dan aku. Hanya ada kita dan pohon
mangga itu; yang kau cita-citakan ingin tumbuh dan dipetik
buahnya; yang kita tambahkan baskom berisi air di bawahnya;
yang suatu waktu merundukkan kita menatap bakalnya. Kita

tetap berada di bawahnya.

Mengunjungi Sandal


selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi
diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya, kata per
kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. Selamat
datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya
pantulan di senggang kalimat, ada juga kue cookies, secangkir
kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan paragraf
yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua.
atau meledak karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh,
hidung gaduh, igus riuh. Selamat datang, di halaman ini takkan
kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam bermuka telaga,
atau pun gugur purnama. Daun-daun, hanya mampu berucap:
selamat atau besok lusa. Tiada betina yang akan kau temui,
tiada ciuman yang serat di bibir. Selamat datang, dan biarkan
angka-angka itu saling tindih, nanti, di setiap celahnya, akan
kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai
pelataran jalan. Saat itulah, kau akan yakin, tentang
lorong-lorong sempit, nomor blok rumah, dan air panas yang
tumpah. Kau akan mencium kembali bau tetangga dari setiap
jemuran, dari berbagai sampah selokan. Bukankah dia Puput,
yang jam tangannya kau buat luput? Matanya yang dulu kau
sebut biru tualang, desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya
pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum meriam ke gigir
pantai. Aku tak suka pantai, aku suka pegunungan -- di atasnya
semakin dalam kulihat perjalanan. Kau seperti ingin
menemukan tempat asing. Ingin menemukan setiap kelainan
rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul. Padahal, yang
justru sering karam ditengah lautan adalah keanekaragaman,
kampung halaman penyair terlahir. Kau masih juga ingin nanap,
dan kapan kau akan melepasnya masuk kehalaman sembilan,
bertaruh kehidupan?
tenggelam.


Mengikat Pinggul Gorden

cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk
bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,
mematikan gigi palsu? Apakah kau tak ingin ikut
melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.

Bila Sandalku Telah Tiba

bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba
ingin tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan
mengerti pergi. Beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting
kembara. Tak ada salak anjing malam ini. Purnama belum tiba.
reranting mangga tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali
bila kau anggap ini setia.


Menggaruk

sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas pada pori
bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat
bertemu lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai
tubuhmu. Dan berbahagialah kepada rambut, yang bersedia kita
kafani, meski matimu tak pernah utuh. Dan berbahagialah
kepada kita, rambut yang sering kali kita lukai (tanpa sadar) itu,
tanpa harap, tanpa balas dendam, telah memilih tumbuh sampai
pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet, tanpa takut pada pingset,
afitson, dan minyak pelicin otot-otot. Sebab dingin tak pernah
menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh, tak ada

maksud lain, hanya memberi tanda bila kalian mulai merinding.
sungguh, kami hanya ingin bahwa kalian mulai ingin. Sekarang
engkau aku tinggalkan, langsatmu suatu waktu akan pulih
kembali, dan mungkin, aku akan sulit mengenalmu, maka bila,
kau tak perlu sungkan menegurku, desis itu, amis itu, asin itu,
tentu lebih abadi. Lebih peduli ketimbang kulit kita yang renta.
lebih berjanji ketimbang nafsu yang api. Sekarang engkau aku
tinggalkan, dan sepi bukan milikmu, berlakulah seperti
sudah-sudah, seperti rambut (tanpa dendam) akan tanggal.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.