SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Senin, 04 November 2013

Doa Sebelum Tidur



ia yang tidak ingin tidur terlalu larut, mengangkat kedua
tangannya. Di atas tempat tidur itu, ia kembali ucapkan kata
‘tuhan’. Ia menunduk khusuk, seperti membaca garis tangan
nasib.

“Tuhan Yang Maha Asing,” ungkapnya, “aku serahkan
sepenuhnya penyelesaian pertempuran besok seperti_apa yang
pernah kau singkapkan – mengenai kebenaran dan kemenangan
itu.”.

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah
menutup doanya.

sebelum tidur.

Innocent



Di atas bantal yang tidak nyaman untuk ditiduri,
ia kembali membaca buku.

Di halaman ke tujuh,
ia temukan naratif.
Di halaman ke sembilan,
ia temukan motif.

Kemudian,

ia temukan dekonstruksi, serta kamar
yang telah banjir.

Ia tumbang di baris akhir.

A’dam



“aku ingin berumah
di Tanjung Karang,” kata
lelaki itu, yang baru saja
meninggalkan kamar kos nomer 15. Dilihatnya,
wajah tuhan
runtuh, dan berkata, “
Ia yang lebih tahu setelahku,
ingin pergi karena kesepian.”

sebelum mengangkat tasnya,
tulang rusuk lelaki itu
dicabut pelan-pelan. Kemudian,
iklan tivi terdengar semakin
tegas.

“Demikian, kesepian,” katanya, “
semakin lenyap dengan kehilangan.”

kemudian ia bangun,
dengan punggung yang pegal.

Cermin Cembung



di hadapan cermin cembung itu, kata-kata kembali bertukar sisi.
menyulitkanku membaca kembali apa yang kau maknai sebagai
peringatan. Sedangkan hari, memang tampak terburu-buru.
hujan menjadi deras seketika. Aku dan kau, yang tak memilih
berteduh, seperti bertarung menghadapi air. Kita kalah. Sekujur
badan basah. Telapak tangan mengkerut.
– kalau jadinya begitu,” katamu kecut, “kapan air akan surut?”.
Aku berhenti di rumahmu. Menatapmu mendatangi pintu
gerbang, mengusir sampah dari rumahmu. Kau
membungkusnya rapat-rapat, dan memastikan, tetangga tak
melihat.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.