SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Jumat, 06 Juni 2014

Hidangan

secentong nasi yang kau rebahkan di atas piring
membebaskan air
melangkah kembali
mendatangi daur
menasbihkan getir sayur

Sampai_,
akhirnya,

perutku kembali mengendur.

Astronot

Bagaimana di atas sana,
menatap
sebagian utuh tubuh bumi ini?

Di bawahmu, aku menghitung-hitung
setangkai apa jari-jari tanganmu
menembus atmosfer
bernafas dalam gerak jarum barometer.

aku membayangkan
menatap jauh di matamu
ada galaksi
dalam denyut pertama nadi.

Akhirnya, kau beredar,
menjadi satelit bagi bumi,

memantul-mantulkan banyak frekuensi
memantul-mantulkan banyak informasi.


Betapa bertiup Kau Yang Abadi. 

Mangga

Adam terus-terus saja
mengingatkan Hawa,
jangan memetik buah manga itu.

Ini di surga.

Tetapi,
awalnya dipetik juga.
Kulit mangga muda itu,
dikupasnya.
Tampaklah utuh dagingnya.
Tercium semerbak getahnya.

Garam, cabai rawit
pada piring,
dicocolnya,
digigitnya,
ngilu pantatnya.

Kemudian,
Adam, suaminya itu, pulang dari tualang,
mendapati istrinya, menggigi karena asam.

“Siapa yang menggodamu?”Adam bertanya.
“Buah mangga itu sendiri.” jawab istrinya.

Adam pun diam.
Ia tatap mata istrinya, dan berkata

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

Air

Air berlari melewati pipa itu,
datang bertekanan rendah.  Lalu wadah
berdiameter 50 cm, menampung
segala benturan. Air tidak tewas.
Mengisi kembali silsilah tumpah.

Dalam wadah, air digunakan.
Membasuh utuh tubuh gelas,
sendok, mangkok, piring, kemudian teplon.
Serta panci, serta kuali,
memantaskan kembali sabun
yang telah lebih dulu, melepas lemak – katamu,
lemak yang melekat.

Dalam wadah, air bergelombang. Seperti sekali lagi
menyatakan,
tidak bisa disamakan,
yang dibuat karam, yang dibuat tenggelam.


Dalam wadah, air membersihkan.

Lanskap Perahu

dan laut, memisahkan kita cukup jauh. perahu tambah usang.
garis pantai, hanya pemikiran kita yang verbal. kemudian,
perlahan-lahan, kita mulai saling melupakan. perahu
menyisakan tulang. tandas, dibiarkan begitu saja
bersandar. ia tak lagi oleng. karena yang selalu menyentuhnya,
tak pernah lagi mampu membawa. namun meninggalkan,
basah yang cukup, dan memastikan, tidak ada lagi
yang turut terserak. di antara tumpukan buih dan pasir.

Rabu, 05 Februari 2014

Selepas Kamar Mandi: Titik

Kau menutup rapat kamar mandi, membujur air, menanggalkan dingin dan badan yang pegal.

Kau memutar keran perlahan, memberhentikan yang mengalir.

Kau keluar,
meninggalkan perasaan cemas.

Kau berkemas.

Minggu, 02 Februari 2014

Risalah Wadah

Ia berlari melewati pipa itu,
datang bertekanan rendah.  Lalu wadah
berdiameter 50 cm, menampung
segala benturan. Ia tidak tewas.
Mengisi kembali silsilah tumpah.

Dalam wadah , ia digunakan. Membasuh
gelas, sendok, piring, mangkok, kemudian teplon.
Memantaskan kembali sabun
yang telah lebih dulu, melepas lemak.
“Ia yang melekat,” katamu, “cenderung tidak berguna.”.

Dalam wadah, ia bergelombang. Seperti sekali lagi
menyatakan, 
tidak bisa disamakan,
yang dibuat karam, yang dibuat tenggelam.

Dalam wadah, ia membersihkan.

feb '14

Vokal Dalam

Ha –

Hantifa sembunyi di balik batu sungai Aku duduk di atas batu memancing ikan
Melewati celah daun-daun sinarpun sampai Kail meloloskan umpan

Kail meloloskan umpan Ikan-ikan kecil menepi
Ikan-ikan besar keluarnya lamban Pelampung hanyut tanpa arti

Pelampung hanyut tanpa arti Bawi kau angkat, ikan pun kosong
Kau kembali duduk dan bertahan pada hati Pada arus sungai, tatapanmu melayang

Pada arus sungai, tatapanmu melayang Pada hilir, segala akhir mengalir
Pada batas hulu, segalanya pulang Pada muara, kita tentukan takdir

Pada muara, kita tentukan takdir Aku di hulu menemukan lagi batu
Batu pecah diukir banjir Rotan habis, hanya alu

Rotan habis, hanya alu Perempuan tua mencari pakis
Hatinya menyebar rindu Hutanku dulu, aku yang gadis

Hutanku dulu, aku yang gadis Kini mampus dibongkar tambang
Membasuh kulit, dukuku manis Sungaiku dulu, dahagaku hilang

Sungaiku dulu, dahagaku hilang Selepas naik bukit menatap langit
Perempuan-perempuan membasuh sinjang Aku pulang dalam hati terbersit


Aku pulang dalam hati terbersit Malam nanti saatnya berbisik-bisik
Aku memulai dengan kata-kata yang genit Pada celah dinding perempuan terisak

Pada celah dinding perempuan terisak Aku mencium suluh api pada sumbu
Malam larut menguak Pada perempuan, aku pamit tanpa ragu

Pada perempuan, aku pamit tanpa ragu Pada anjing melolong, aku menunduk khusuk
Tempat segalanya masuk, aku membuka pintu Tempat segalanya bersambung, aku sudah
masuk

Tempat segalanya bersambung, aku sudah masuk Aku membaringkan diri pada ranjang

Langkah-langkah berderit sudah melayang Pada ranjang, segalanya mulai hilang.

jan'14

Mangga

Adam terus-terus saja
mengingatkan Hawa,
jangan memetik buah manga itu.

Ini di surga.

Tetapi,
awalnya dipetik juga.
Kulit mangga muda itu,
dikupasnya.
Tampaklah utuh dagingnya.
Tercium semerbak getahnya.

Garam, cabai rawit
pada piring,
dicocolnya,
digigitnya,
ngilu pantatnya.

Kemudian,
Adam, suaminya itu, pulang dari tualang,
mendapati istrinya, menggigi karena asam.

“Siapa yang menggodamu?” Adam bertanya.
“Buah mangga itu sendiri.” jawab istrinya.

Adam pun diam.
Ia tatap mata istrinya, dan berkata

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

jan '14

Misalnya Di Teras Rumah Ada Puisi

Misalnya di teras rumah ada puisi, apa yang ingin kau katakan?

Burung-burung walet bertengger pada kabel listrik,
membiarkan bulu-bulunya diguyur hujan.

Misalnya ketika di teras rumah ada puisi, yang menjelma
menjadi burung walet itu, apa yang ingin kau katakan?

Beberapa puisi, berterbangan, pindah pada kabel listrik yang lain.
Membiarkan bulu-bulunya yang sedang berkepakan turut diguyur hujan. 
Ia seperti menghiasi cakrawala, cakrawala yang akan datang. Ia seperti,
seketika peristiwa yang menyentak - burung-burung gagak
yang membusur tatapan.

Misalnya nih, saat di teras rumah ada hujan yang mengguyur pandangan,
belokan di ujung gang, dan puisi di hadapan. Bagaimana kau akan
mengatakan kepadanya (puisi ini)? Ia menatapmu. Ia menunggu.

Saat ini hujan mengguyur pandangan. Ada belokan di ujung gang.
Dan kau tidak pernah mencari alamat. Kau hanya singgah.
Kau hanya bertengger. Tapi kau bukan walet itu.Tapi kau bukan gagak itu.
Kau hanya arah. Kau tidak menentukan apa-apa.
Aku berhak menentukan apa-apa.

Aku ingin kau, jadilah puisi di hadapanku.
Menjadi aku.

Saat itu,

di teras rumah hujan mengguyur pandangan.

des '13

Risalah Dapur

Mungkin ia ada di dapur, memaki lagi tikus yang mengais bungkus plastik itu. Katamu, mencuci piring, pekerjaaan yang menyisakan rizki. Hasrat tinggi mencari dan menggerogoti. Sedangkan ketakukan akan kehadiran yang lain, adalah waktu untuk sembunyi, dan mendengarkan kembali kekesalan. Mungkin ia ada di dapur, kau menghidupkan keran air, kemudian membiarkan ia tumpah dalam wadah, dan genggamanmu pada gelas, pada teplon berminyak, seolah tak mampu menahan ia untuk terlepas. Ia mungkin ada di dapur. Kita tak sempat membuat ia bertahan, atau tetap, memperhatikan kau mengiris bawang, cabai, dan hasrat yang tertahan. Harapan, katamu, mungkin ia ada di dapur, berhak saja hilang dalam dekapan. 

des '13

Ekuilibrium

Apa yang lebih mudah menyentuh
Apa yang lebih dalam mengenai kesedihan

Apa yang lebih abai dari keseluruhan
Apa yang membuat ia terpesona pada dekapan

Apa yang lebih berani dikatakan selain kerinduan
Apa yang dicari lelaki, saat ia tiba, tidak didapati

Apa yang lebih gagah dari kuda hitam yang berlari ke dalam hutan
Apa yang dilakukan pandai besi mengolah api

Apa yang lebih abadi selain dipenggal mati
Apa yang bungkam saat dikhianati

Apakah yang lebih dilindungi selain harga diri

Apakah yang lebih tiba-tiba muncul melainkan kepribadian

november '13

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.