Ia menutup, membuat
dirimu berdiam dari apapun. Dirimu yang menatap segalanya dengan surut. Sejak
itu, ia menyertakan aliran darahmu (dalam denyut nadimu), turut mencengkeram
lehermu. Dirimu berjalan, dari pembaringan di atas ranjang, ke buku, ke masalalu,
ke peristiwa, ke sejarah, ke hati yang tidak pernah siap, diri yang menolak
dari apapun. Ia menutup, tegas dirimu menghindar, belum memberikan apapun
segalanya mengenai jawaban. Setiap kali dirimu menghindar, setiap baris
langkahmu, hancur, tanpa sempat berpendar. Ia menutup dirimu, sedangkan dirimu
tetap harus bergerak. Dirimu yang berhilangan jejak. Kau ingat masa anak-anak
itu, berlari apapun segalanya mengenai jawaban.
Ia, entah bagaimana
menutup dirimu, aku kembali meraba ukurannya. Jika benar ia terbuang, aku
pencari abadi. Maka melangkahlah bersamaku, meski selagi itu dirimu berdiam
dari apapun. Ayo mengukur ia dalam dirimu!
Tidak. Dirimu belum
siap. Kita mencari saja. Apakah dirimu dapat mengingat tempat, tempat terakhir,
ia yang membuat dirimu menolak? Ya, aku ingat, masa anak-anak itu, berlari
apapun segalanya mengenai jawaban. Tetapi lupakan jejak itu sejenak. Aku hanya
ingin, dirimu mulai meraba bentuk – pohon, patokan, tiang listrik, tugu,
bundaran, tabrakan, kerusuhan, palang rel, gang, masjid, warna angkutan, hotel,
jembatan, dan perempuan – kita berhenti berlari.
Tetapi, ia tidak
mungkin membuka kembali dirimu dengan tangannya sendiri. Ia disembunyikan. Dan saat
ini, pencarian benar-benar rumit. Kita dihadapkan pada banyak kematian bentuk.
Meski kematian itu disertai gerakan – lelaki berjalan, perempuannya lenyap
dalam jeda. Dan siapapun yang menyembunyikan ia, pasti memiliki rencana.
Rencana yang tidak baik mengenai harapan. Tidakkah dirimu masih memiliki
tujuan?
Ia, tidak bisa mengubah
dirimu. Tetapi ia mampu membuka. Dan aku tidak ingin kita kehilangan jejaknya.
Meski dirimu hanya berdiri. Meski dirimu hanya berdiam diri. Aku tahu, dirimu
bukanlah patung. Sekalipun patung, dirimu bukanlah patung yang tak mampu
mencitra penjagaan. Apa yang berarti dari ia, jika yang ia tutup tak ada? Dirimu
penting.
Saat itu, jelaslah, ia
bukan yang menutup hatimu. Ia alat. Alat yang membuat dirimu berdiam diri saat
ini. Alat yang membuat segalanya berbatas. Bukankah setiap yang menutup, setiap
yang membuka? Lalu apalagi? Ayo berhenti berdiam diri! Ia masih ada di dalam.
Ayo terus mencari! Biarkan ingatan-ingatan itu kembali.
Kemudian dirimu mulai
memaku dinding. Memutuskan memajang apa yang kita bentuk sebagai kenangan.
Bingkai foto, tanduk kerbau, piagam; aku lihat, hari-harimu dipenuhi
penghukuman. Dinding tidak lagi utuh, tetapi tertusuk. Atau lebih tepatnya,
dirimu mulai memisahkan, yang melekat dengan yang akan melekat.
“Aku ingin mereka mulai
tampil di dinding.” katamu. Seperti itulah, seperti yang kau inginkan, mereka,
mulai tampak mengikat di dinding. Atau panggung? Mereka tampak, bukan sekedar
properti. Tapi inti. Tapi isi. Beserta penonton (dirimu, aku, dan kuharapkan
juga kau yang sembunyi), tak sabar ingin menutup dengan bersorak.