SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 04 Juli 2015

Kunci

Ia menutup, membuat dirimu berdiam dari apapun. Dirimu yang menatap segalanya dengan surut. Sejak itu, ia menyertakan aliran darahmu (dalam denyut nadimu), turut mencengkeram lehermu. Dirimu berjalan, dari pembaringan di atas ranjang, ke buku, ke masalalu, ke peristiwa, ke sejarah, ke hati yang tidak pernah siap, diri yang menolak dari apapun. Ia menutup, tegas dirimu menghindar, belum memberikan apapun segalanya mengenai jawaban. Setiap kali dirimu menghindar, setiap baris langkahmu, hancur, tanpa sempat berpendar. Ia menutup dirimu, sedangkan dirimu tetap harus bergerak. Dirimu yang berhilangan jejak. Kau ingat masa anak-anak itu, berlari apapun segalanya mengenai jawaban.

Ia, entah bagaimana menutup dirimu, aku kembali meraba ukurannya. Jika benar ia terbuang, aku pencari abadi. Maka melangkahlah bersamaku, meski selagi itu dirimu berdiam dari apapun. Ayo mengukur ia dalam dirimu!

Tidak. Dirimu belum siap. Kita mencari saja. Apakah dirimu dapat mengingat tempat, tempat terakhir, ia yang membuat dirimu menolak? Ya, aku ingat, masa anak-anak itu, berlari apapun segalanya mengenai jawaban. Tetapi lupakan jejak itu sejenak. Aku hanya ingin, dirimu mulai meraba bentuk – pohon, patokan, tiang listrik, tugu, bundaran, tabrakan, kerusuhan, palang rel, gang, masjid, warna angkutan, hotel, jembatan, dan perempuan – kita berhenti berlari.

Tetapi, ia tidak mungkin membuka kembali dirimu dengan tangannya sendiri. Ia disembunyikan. Dan saat ini, pencarian benar-benar rumit. Kita dihadapkan pada banyak kematian bentuk. Meski kematian itu disertai gerakan – lelaki berjalan, perempuannya lenyap dalam jeda. Dan siapapun yang menyembunyikan ia, pasti memiliki rencana. Rencana yang tidak baik mengenai harapan. Tidakkah dirimu masih memiliki tujuan?
Ia, tidak bisa mengubah dirimu. Tetapi ia mampu membuka. Dan aku tidak ingin kita kehilangan jejaknya. Meski dirimu hanya berdiri. Meski dirimu hanya berdiam diri. Aku tahu, dirimu bukanlah patung. Sekalipun patung, dirimu bukanlah patung yang tak mampu mencitra penjagaan. Apa yang berarti dari ia, jika yang ia tutup tak ada? Dirimu penting.

Saat itu, jelaslah, ia bukan yang menutup hatimu. Ia alat. Alat yang membuat dirimu berdiam diri saat ini. Alat yang membuat segalanya berbatas. Bukankah setiap yang menutup, setiap yang membuka? Lalu apalagi? Ayo berhenti berdiam diri! Ia masih ada di dalam. Ayo terus mencari! Biarkan ingatan-ingatan itu kembali.

Kemudian dirimu mulai memaku dinding. Memutuskan memajang apa yang kita bentuk sebagai kenangan. Bingkai foto, tanduk kerbau, piagam; aku lihat, hari-harimu dipenuhi penghukuman. Dinding tidak lagi utuh, tetapi tertusuk. Atau lebih tepatnya, dirimu mulai memisahkan, yang melekat dengan yang akan melekat.


“Aku ingin mereka mulai tampil di dinding.” katamu. Seperti itulah, seperti yang kau inginkan, mereka, mulai tampak mengikat di dinding. Atau panggung? Mereka tampak, bukan sekedar properti. Tapi inti. Tapi isi. Beserta penonton (dirimu, aku, dan kuharapkan juga kau yang sembunyi), tak sabar ingin menutup dengan bersorak. 

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.