SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 26 Maret 2016

Mengenai yang Kita Sembunyikan

Kita telah memutuskan
pergi turun ke pantai
menjejaki lagi kaki
pada lempung pasir besi

lalu saraf otakku kembali berkontraksi
menyadari lagi
tidak semestinya lelaki sepertiku
menolak ombak yang datang tiba-tiba
karena barang kali, akan kembali sedia kala
menghapus jejak kita selamanya
tanpa permisi
tanpa meminta

tanpa menunggu.

Mengenai yang Kita Simpan, 2

mari kita berteman. Kita samakan kembali
makna dari kata-kata kita. Kata-kata yang telah
menumbuhkan kembali kecemburuan, dan
cinta yang buta. Kebutaan permanen.
sehingga, apa yang harus aku katakan, menjadi
tidak ingin dikatakan. Aku takut.
apa yang kita gambarkan, hanyalah masa lalu.

yaitu, sapi yang tidak lagi bermuka sapi.

Mengenai yang Kita Simpan, 1

semula, aku menganggap kita berteman,
membagi berita dan cerita

bahkan rahasia
yang kita percayakan bersama
beserta nama-nama
yang kita cermati sebagai belati
dalam kejadian ini

tetapi, ujung dari lidah tak mudah patah
butuh musim kering yang sangat
datang dari lambung,
ke kerongkongan,
dan menjadi bau mulut
menjadi kemelut dalam perut

sedangkan KPK,
kelipatan persekutuan kecil itu,
selalu tidak pernah kehilangan penyebut

kemudian hanya riskan
terbaca lagi oleh logika
diwaktu sarapan

disimpan dalam harapan.

Makan, dan Ngopi Lagi

Aku pergi lagi,
dari rumah yang atapnya
merobek dirinya sendiri

duduk, dan makan di pinggiran kota
yang kita cintai ini,
ngopi

(sepertinya,
segalanya tidak menimbulkan pertikaian
melainkan udara dingin)

melainkan orang-orang itu,
masuk,
dan keluar atm

yang memang semuanya wajar saja

kecuali yang terlalu lama
merubah rencana dan neraca

maka aku kembali sadar
anak-anak di belakangku berisik
meributkan ciki apa yang ingin dibeli

kemudian senyam-senyum
permisi lewat di hadapanku

seorang anak mendorong kepala temannya
anak yang didorong, menganggapnya
biasa saja
aku dan puisi, menganggapnya jeda saja
menyapa senyum mereka

ah, kebersahajaan, aku menyeruput kopi lagi

Bukankah segalanya telah lari dari diri kita?

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.