Mungkin ia ada di dapur, memaki lagi tikus yang
mengais bungkus plastik itu. Katamu, mencuci piring, pekerjaaan yang menyisakan
rizki. Hasrat tinggi mencari dan menggerogoti. Sedangkan ketakukan akan
kehadiran yang lain, adalah waktu untuk sembunyi, dan mendengarkan kembali
kekesalan. Mungkin ia ada di dapur, kau menghidupkan keran air, kemudian
membiarkan ia tumpah dalam wadah, dan genggamanmu pada gelas, pada teplon
berminyak, seolah tak mampu menahan ia untuk terlepas. Ia mungkin ada di dapur.
Kita tak sempat membuat ia bertahan, atau tetap, memperhatikan kau mengiris
bawang, cabai, dan hasrat yang tertahan. Harapan, katamu, mungkin ia ada di
dapur, berhak saja hilang dalam dekapan.
“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”
...
ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah
menutup doanya.
sebelum tidur.
Samping Rumah
Senin, 21 Oktober 2013
Langganan:
Postingan (Atom)
Laman
Pembunuh Sandal
Aku:
1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.
Sandal:
21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.
"Tadi, ngapain aja di sekolah?"
"Aku ada ujian mendadak."
"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."
"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."
Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.