SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 25 Juni 2011

“Surga” dan sedikit tentangku; adalah apa yang tak dapat aku jangkau!

239

Satu apel pada satu pohon dan sedikit tentangku;
yang digunakan untuk kesia-siaan dan sedikit tentangku;
itu saja dan sedikit tentangku;
“Surga” adalah dan sedikit tentangku; untukku

Satu warna, pada satu pandang awan dan sedikit tentangku;
satu tanah penghalang dan sedikit tentangku;
tertinggal dari satu rumah dan sedikit tentangku;
di sana dan sedikit tentangku; Firdaus
dan sedikit tentangku; adalah keberadaan.

Keungu-unguannya diperolok-olok dan sedikit tentangku;
hari-hari sore, hari-hari sore, dan sedikit tentangku.
Peyakinan dan sedikit tentangku;
Pemikat dan sedikit tentangku;
Kita acuh dan sedikit tentangku; Kemarin!

Jumat, 24 Juni 2011

Catatan ke 26

sejarah tidak pernah menumpahkan darah di dalam rumah.

o.s. 20/06/2011

Catatan ke 25

sumur tanpa dasar, tak pernah mengeluarkan air.

11 Desember 2010

Sesuduk

Jejak siapa yang akan tertinggal, di rumah yang telah kehilangan pangeran? Catatan-catatan di buku, kau baca ulang. Ada nama baru. Ada nama kawan lamamu. Ada nama yang kau ingat, namun tak tercatat. “Dasar adat,” katamu. Maka kau mulai menepis ketakhadiran orang-orang; yang mati karena tabrakan; yang mati karena tergelincir ke jurang dan tertimpa beban; yang mati karena ditusuk dari belakang; - atau yang mati karena usia sudah menginjak enampuluhan. Kau berangkat, bahwa buku catatanmu telah lengkap. Jejak siapa yang akan tertinggal, di rumah yang telah kehilangan pangeran? “Jejak bapakku,” katamu.

Jam 3

Jam 3
Aku membasuh muka
Di bak
Yang telah mati krannya
Dan tidak lagi kutemukan kata
Yang sembahyang atau berdoa
Bagi mereka yang terlelap sementara.

Pembunuh Sandal

10

Di pesta dansa, kau membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak ingin pulang.

11

Tetapi, sebuah pesan singkat dari hand phone-mu, membuat singkat perjamuan. Kau seperti memikirkan sesuatu yang ada di luar. Kau membuat kursi terdorong menjauhi meja. Membuat kaget sehelai taplak sehingga sudut kakinya agak terangkat. Namun orang-orang tidak ingin berhenti berdansa sehinga tuts musik agak berubah, takut beberapa orang yang berpikir “ada apa?” mulai salah mengayun langkah. Ya, taman kota, dan lampu Tanjung Karang, seperti ingin menghindar dari gusar dan gurauan orang-orang.

Senin, 13 Juni 2011

Pilihan

Aku telah dihadapkan pada dua pilihan. Mencari atau menunggu. Ada yang bilang, menjadi penyair kau harus mencari –“yang abadi adalah mencari”. Ada yang bilang, menjadi penyair kau harus menunggu. Sungguh menyulitkan berada pada posisi seperti ini. Tetapi, yang kutahu darimu, aku menunggumu karena aku mengerti, aku mencari karena aku percaya. Inilah aku, sayang, berkesenian.

10:23 AM; 13/06/2011
o.s.

Pembunuh Sandal

10

Di pesta dansa, kau membisu, hanya tanganmu menggapai pinggangku. Kau ayunkan kaki kananmu. Aku tersentak kaget. Aku mulai ragu dengan kau membawaku malam itu. Kita bisa saja putus bersama. Bersitegang, dan dada yang mulai goyang. Kita mulai sesak di kerumunan orang. Di meja, tempat mungkin kita akan makan, kau tak memesan apa pun; sebuah pesan singkat mengharuskan kau pulang.

“Aku harus pulang ke mana?”, katamu, “Rumah tak ada.”.

Di Hadapan Jendela

seberkas sinar terkapar;
retak tiga keping;
berbenturan dengan kening.

Mengecat Kembali Dinding Rumah Kita

apakah cinta juga bisa pudar seperti cat dinding rumah kita? Atau retak
karena cuaca? Atau ketakmahiran kita, mencampur timer dan cat, sehingga
kepudaran itu, adalah kesalahan keduanya. Kesalahan kita. Lain waktu,
aku dan kau sebaiknya belajar, mengenai beberapa takaran, waktu, dan
harapan. Belajar, bagaimana kuas itu, harus dipoleskan.

Di Rumah Makan

Seorang lelaki berkata dosa.
Seorang perempuan menangis.
Seorang lelaki lainnya berkata tidak akan apa-apa.
Ketiganya makan dalam satu meja.

Membaca Kembali Halaman Depan Rumahmu

membaca kembali halaman depan rumahmu, seperti membaca
kembali tubuh kita yang sempat kanak-kanak. Kuingat kembali
wajahmu yang sempat kalah waktu main peci1, dan wajah-
wajah kita yang memilih kompromi untuk menang tak terlalu
banyak; baru-baru ini, kudengar teman kita, Pursan, sudah
punya anak. Lelaki, kabarnya. Ah, sungkan juga jadinya di usia
begini, main peci lagi. Bertarung kembali dengan Pursan.
membaca kembali halaman depan rumahmu, yang kini telah
berganti tanaman, seperti membaca kembali diri kita yang
mungkin akan mulai berbuah. Dan ingin rasanya berbagi kabar
dengan tetangga, bahwa kita telah berbuah, - tubuh kita tak sia-
sia tergetah. Seperti Pursan, teman kita, yang sempat memiliki
masa kanak-kanak. Kita bapak, dan ia anak. Serta Pursan, telah
menjadi tetangga di seberang halaman depan rumah kita.
tetangga yang sama-sama akan kita jaga.

catatan:
1 = kelereng

Minggu, 12 Juni 2011

Jak Lagu Mid di Lagu

Jak lagu mid di lagu
Jak takhu mid di takhu
Jak khigu mid di khigu
Bupenah juga, nyak, di niku

Jak tilu mid di tilu

Jak pagun mid di pagun
Jak tagan mid di tagan
Bujaga saya di tanggam

Jak tikham mid di tikham

Jak kahut mid di kahut
Jak ngimut mid di ngimut
Busekhah kita di bulapahan:

bujaga ngelawan sai tihadap

butontong ngelawan sai tumbai
lebon di khani-khani guwai
tinggok, tinggok di tengingok

Jak sekhingok mid di sekhingok

Jak tekas, jak kusuahmu kekhattas
Sai kucatat, sai kucatat
Kita pekhada mawat.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.