SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Selasa, 25 Januari 2011

Ia yang Menulis Tentang Dirinya

suatu hari, ia akan renta. Telah jauh dari peristiwa. Ia akan tidak berdaya lagi

dari berkata-kata. Tidak akan ada lagi yang mendengarkannya; mungkin karena ia

akan diam saja. Suatu hari, yang dapat ia lakukan hanya menulis, dan menulis saja – entah, mungkin bukan untuk sesiapa. Entah, mungkin juga bukan untuk dirinya. Maka ia

akan tampak sangat sekarat, karena dirinya dan lingkungannya. Tetapi, ia akan tetap

diam saja. Lalu ia akan mengingat-ingat apa yang sempat tumbuh di halaman depan

rumahnya. Sesiapa saja yang pernah menegurnya. Sesiapa saja yang pernah –

memanggilnya dengan sangat lantang. Wuy, api guway? Midokh, pah! Sesiapa

yang pernah membuat ia yakin bahwa di halaman depan rumahnya dapat untuk

tidak dapat dijaga. Maka, menurutnya kelak, meninggalkan halaman rumahnya adalah

kehilangan yang sementara.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.