SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Minggu, 30 Januari 2011

PERJAMUAN SANDAL

di tangan yang gemetar, aku menjamumu, dengan sepasang
sandal yang telah hilang. Di perjamuan ini, sandal, tidak akan
kita bicarakan lagi sebagai objek, tetapi subjek – pelaku
kehidupan ini. Karena kepergian baginya adalah tugas dan
kehilangan adalah kepudaran sudut pandang. Di perjamuan ini,
kita tidak perlu lagi membayangkan sisa jejaknya yang tertinggal
di ujung gang, atau merapat ke teras depan. Karena pengetahuan
kita, mengharuskannya tidak pernah mengetuk pintu, mengucap
sebaris kalimat untuk menyatakan kehadirannya yang sangat.
di perjamuan ini, sempatkan saja oleh kita untuk tidak berkata-kata
dusta. Berhenti sejenak, untuk tidak melukai perasaannya. Dan
setelah ia tiada, dan setelah jelas letak penguburannya, kesediaan
kita untuk meneruskan apa yang disukainya sejak lama. Terputus,
dan tidak dibuang pemiliknya.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.