SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Senin, 13 Juni 2011

Membaca Kembali Halaman Depan Rumahmu

membaca kembali halaman depan rumahmu, seperti membaca
kembali tubuh kita yang sempat kanak-kanak. Kuingat kembali
wajahmu yang sempat kalah waktu main peci1, dan wajah-
wajah kita yang memilih kompromi untuk menang tak terlalu
banyak; baru-baru ini, kudengar teman kita, Pursan, sudah
punya anak. Lelaki, kabarnya. Ah, sungkan juga jadinya di usia
begini, main peci lagi. Bertarung kembali dengan Pursan.
membaca kembali halaman depan rumahmu, yang kini telah
berganti tanaman, seperti membaca kembali diri kita yang
mungkin akan mulai berbuah. Dan ingin rasanya berbagi kabar
dengan tetangga, bahwa kita telah berbuah, - tubuh kita tak sia-
sia tergetah. Seperti Pursan, teman kita, yang sempat memiliki
masa kanak-kanak. Kita bapak, dan ia anak. Serta Pursan, telah
menjadi tetangga di seberang halaman depan rumah kita.
tetangga yang sama-sama akan kita jaga.

catatan:
1 = kelereng

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.