SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Selasa, 20 September 2011

Siswa dan Gurunya

Siswa: Aku ingin siap menghadapi masa depan. Tetapi masa depan adalah kerusakan. Hari yang berlari menuju kehancuran. Pola dan pola adalah kertas origami. Yang kami lipat-lipat. Melipat senyuman kami, pada sebentuk batu, sebentuk burung. Tanpa nyawa. Tapi kenangan. Keterbelakangan kami adalah
keterbelakangan menilai dan mengoreksi.

Guru: Kehidupan ini dinilai. Dikoreksi. Kesetiaan dan keberatan pada pengetahuan yang di sumpal-sumpalkan. Dan pengkhianatan otak.

Siswa: Tetapi, guru, waktu aku membeli buku, yang kubaca hanyalah masalalu. Pentingkah itu? Pentingkah itu?

Guru: Seandainya tidak ada yang sakit. Seandainya, kita, tidak ada yang mati. Pentingkah
ini? Pentingkah ini? Pentingkah siswa bagi kami?

Guru dan murid sama-sama diam. Guru membayangkan dirinya menjadi mati. Murid membayangkan dirinya menjadi guru.

Guru: Yang kita tatap adalah senja. Matahari terbenam. Hari akan malam. Bukankah kau harus mengerjakan PR? Besok ada ujian, kan? Hadapi, sebab itulah kau dihidupi!

Siswa: Tenang saja, guru, aku sudah cerdas. Tinggal mengerjakan tugas.

Guru membalas senyum muridnya. Guru membayangkan dirinya menjadi murid. Mengerjakan tugas, dan kehilangan banyak kertas.

Guru: Setiap tugas harus kau arsipkan. Sebagai bukti. Sebagai bukti. Bukti kau pernah lahir sebagai sejarah. Karena keresahanku. Karena keresahanku adalah kertas-kertas tugas yang telah dinilai dan menumpuk.
Arsipkan sendiri sejarahmu. Dan guru tinggal mengilokannya. Biar dapat didaur ulang.

Siswa: Pentingkah itu, guru? Pentingkah itu?

Guru: Penting, karena kau akan menjadi presiden.


Guru membayangkan siswanya menjadi presiden. Siswa membayangkan dirinya menjadi presiden.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.