Siswa: Aku ingin siap menghadapi masa depan. Tetapi masa depan adalah kerusakan. Hari yang berlari menuju kehancuran. Pola dan pola adalah kertas origami. Yang kami lipat-lipat. Melipat senyuman kami, pada sebentuk batu, sebentuk burung. Tanpa nyawa. Tapi kenangan. Keterbelakangan kami adalah
keterbelakangan menilai dan mengoreksi.
Guru: Kehidupan ini dinilai. Dikoreksi. Kesetiaan dan keberatan pada pengetahuan yang di sumpal-sumpalkan. Dan pengkhianatan otak.
Siswa: Tetapi, guru, waktu aku membeli buku, yang kubaca hanyalah masalalu. Pentingkah itu? Pentingkah itu?
Guru: Seandainya tidak ada yang sakit. Seandainya, kita, tidak ada yang mati. Pentingkah
ini? Pentingkah ini? Pentingkah siswa bagi kami?
Guru dan murid sama-sama diam. Guru membayangkan dirinya menjadi mati. Murid membayangkan dirinya menjadi guru.
Guru: Yang kita tatap adalah senja. Matahari terbenam. Hari akan malam. Bukankah kau harus mengerjakan PR? Besok ada ujian, kan? Hadapi, sebab itulah kau dihidupi!
Siswa: Tenang saja, guru, aku sudah cerdas. Tinggal mengerjakan tugas.
Guru membalas senyum muridnya. Guru membayangkan dirinya menjadi murid. Mengerjakan tugas, dan kehilangan banyak kertas.
Guru: Setiap tugas harus kau arsipkan. Sebagai bukti. Sebagai bukti. Bukti kau pernah lahir sebagai sejarah. Karena keresahanku. Karena keresahanku adalah kertas-kertas tugas yang telah dinilai dan menumpuk.
Arsipkan sendiri sejarahmu. Dan guru tinggal mengilokannya. Biar dapat didaur ulang.
Siswa: Pentingkah itu, guru? Pentingkah itu?
Guru: Penting, karena kau akan menjadi presiden.
Guru membayangkan siswanya menjadi presiden. Siswa membayangkan dirinya menjadi presiden.
keterbelakangan menilai dan mengoreksi.
Guru: Kehidupan ini dinilai. Dikoreksi. Kesetiaan dan keberatan pada pengetahuan yang di sumpal-sumpalkan. Dan pengkhianatan otak.
Siswa: Tetapi, guru, waktu aku membeli buku, yang kubaca hanyalah masalalu. Pentingkah itu? Pentingkah itu?
Guru: Seandainya tidak ada yang sakit. Seandainya, kita, tidak ada yang mati. Pentingkah
ini? Pentingkah ini? Pentingkah siswa bagi kami?
Guru dan murid sama-sama diam. Guru membayangkan dirinya menjadi mati. Murid membayangkan dirinya menjadi guru.
Guru: Yang kita tatap adalah senja. Matahari terbenam. Hari akan malam. Bukankah kau harus mengerjakan PR? Besok ada ujian, kan? Hadapi, sebab itulah kau dihidupi!
Siswa: Tenang saja, guru, aku sudah cerdas. Tinggal mengerjakan tugas.
Guru membalas senyum muridnya. Guru membayangkan dirinya menjadi murid. Mengerjakan tugas, dan kehilangan banyak kertas.
Guru: Setiap tugas harus kau arsipkan. Sebagai bukti. Sebagai bukti. Bukti kau pernah lahir sebagai sejarah. Karena keresahanku. Karena keresahanku adalah kertas-kertas tugas yang telah dinilai dan menumpuk.
Arsipkan sendiri sejarahmu. Dan guru tinggal mengilokannya. Biar dapat didaur ulang.
Siswa: Pentingkah itu, guru? Pentingkah itu?
Guru: Penting, karena kau akan menjadi presiden.
Guru membayangkan siswanya menjadi presiden. Siswa membayangkan dirinya menjadi presiden.