1
Sandal, aku telah kembali memakai sepatu. Aku
kenakan kembali seragam hari Rabu, dan kacamata bertangkai kuning mengkayu itu.
Pagi sekali, aku kembali meninggalkanmu.
Meninggalkan rumah kontrakan dan tanaman.
“Pastikan. Pastikan.” katamu.
Pagi sekali, aku memastikan buku-buku pelajaran itu,
- laptop, absen, dan hasil koreksian
ujian.
Aku memastikan kepergian.
2
Setiap
kepulangan, katamu, ada istirahat dan pintu gerbang yang terhambat. Ada kisah
cinta siswa yang selintas lewat. Ada ingatanku mengenai subbab-subbab.
Dan
keinginanku untuk kembali melepas sepatu.
Sandalku,
aku kembali mencoba memahamimu. Memahami waktu, dan lekuk sintalmu. Memahami
keperluan, dan kekuranganku hari Rabu.
“Meskipun kau akhirnya mengangkatku, memindahkan
maksud, dan menutup pintu? Apakah berarti, berhenti sejenak, menjinakkan
amarahku? Kau hampir saja menghindar dari rumah.”
“Tidak. Aku hanya mencakupkan maksud dan penipuan
itu.”
3
Selepas sepatu, kita pergi bersantai di teras depan.
Menghadapi “lidah mertua”, yang entah kapan akan kuning tebal. Kita lupa hari,
kapan kita benar-benar menanamnya. Lihatlah!, tanaman kita kembali bertambah
tunas. – sepertinya, jika tunas itu benar-benar tumbuh, kita seperti telah –
melunasi sesuatu.
“Aku mengerti. Tetapi, bisakah kita, hanya
memikirkan kita?”