SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Senin, 12 Juli 2010

Juru Sambutan Satu

gigi-gigi yang terhormat sambutlah salam hangat dari kami yang teramat mayat.
kami baru saja mati terkena Trojan. Beberapa harus bersedia mati ditembak
oleh Ansav. Beberapa lagi di antara kami selamat namun harus menderita cacat.
jauh lagi ke dalam, tubuh kata hidup tanpa kepala. Tapi sungguh, karena ia
masih keluarga kita, beberapa masih dapat dikenali identitasnya. Misalnya, hasy,
oleh ahli forensik dapat dikenali sebagai harusnya. Tdk? Ah, hanya masalah
huruf vokal saja. Mungkin saja sebagai tidak . Prang, sampai saat ini masih
diduga sebagai perang. Tetapi, gigi, seluruh di antara kami, belum satu pun
mengetahui apakah kata yang satu ini cacat atau sempurna, kami terus saja
mencari tahu, terus saja kami berselisih tentang ini. Yang satu mengatakan,
“ia tidak cacat; ia tetap kursi.”. Yang satu mengatakan, “ia cacat; ia seharusnya
korupsi.”. Sampai akhir, dari 5000 kata yang cacat, dalam sambutan ini, kami
sampaikan kepada seluruh gigi, kami belum dapat memastikan, apakah ia kursi,
apakah ia korupsi. Yang pasti virus telah berhasil menjangkiti keluarga kami.

“…?”
“mayoritas kehilangan i.”

“…?”
saya lebih suka anda percaya bahwa anda tidak percaya.


oky sanjaya

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.