Celana
yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku yang
lupa ikat pinggang, berani datang diam-diam, merapat ke dinding kelas-kelas. Bukannya
pulang. Mataku, pasang mata curiga; siapa yang menggoyang-goyang pintu kelas;
siapa yang menatap sambil menyapu; siapa yang kini di gerbang pintu. Ternyata,
aku baru saja lewat dari ranjau, yang dipasang lengket di tiang bendera – ingus
tampaknya. Aku harus benar-benar menahan ketawa. Selintas, celana bisa saja
tewas. “Pantek,” kata anak itu kesalnya. Aku tertawa. Hampir naas, aku menunduk
sehingga tak terjangkau matanya. Diam-diam, aku jalan jongkok, memasuki
kelasku, dengan mata tetap waspada.
“Aduh,
PR-Ku lupa, di kelas kukejar saja.”
Celana
yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku harus
mengeluarkan baju, sehingga menjaga keberadaannya. Aku, tampaknya, akan lama bersitegang. Di
bangku, kedua tanganku akan gemetaran. Aku akan keringatan. Kemudian, beberapa
teman sekelas akan mulai tampak heran. Oky yang biasanya sarat menantang pinggang,
kini baju dikeluarkan. Oky yang biasanya berloncat-loncatan, kini tampak duduk
diam. Oky yang menampakkan mata yang ingin ke depan, kini tampak bertahan.
Beberapa teman sekelas tampak mulai kompak membalas. Di kelas, aku sendirian,
kemudian pingsan.
“Wuih, aku dibuat pingsan olehnya.”. Di
UKS, akhirnya, kutemukan celana, dalam keadaan aman.
Celana
yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Tetapi kesementaraan,
berlalu begitu saja. Aku datang kembali ke kelas. Mencoba siap menghadapi
Herman. Wajahnya kembali buas, mendapati titik lemahku. “Serang celana!”
ungkapnya. Seluruh mata teman-temanku, tertuju pada celana. Kami
berkejar-kejaran. Aku bertipu-daya. Meleset dari setiap jangkauan tangan. Kemudian,
ada wanita. Aku berhenti berlari akhirnya. Celanaku tewas. Teman-temanku
bersorak. Merdeka! Merdeka!
Celana
yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku yang
lupa ikat pinggang, berani datang diam-diam, merapat ke dinding kelas-kelas. Bukannya
pulang. Mataku, pasang mata curiga; siapa yang menggoyang-goyang pintu kelas;
siapa yang menatap sambil menyapu; siapa yang kini di gerbang pintu. Ternyata,
aku baru saja lewat dari ranjau, yang dipasang lengket di tiang bendera – ingus
tampaknya. Aku harus benar-benar menahan ketawa. Selintas, celana bisa saja
tewas. “Pantek,” kata anak itu kesalnya. Aku tertawa. Hampir naas, aku menunduk
sehingga tak terjangkau matanya. Diam-diam, aku jalan jongkok, memasuki
kelasku, dengan mata tetap waspada.
“Aduh,
PR-Ku lupa, di kelas kukejar saja.”
Celana
yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Celakanya, aku harus
mengeluarkan baju, sehingga menjaga keberadaannya. Aku, tampaknya, akan lama bersitegang. Di
bangku, kedua tanganku akan gemetaran. Aku akan keringatan. Kemudian, beberapa
teman sekelas akan mulai tampak heran. Oky yang biasanya sarat menantang pinggang,
kini baju dikeluarkan. Oky yang biasanya berloncat-loncatan, kini tampak duduk
diam. Oky yang menampakkan mata yang ingin ke depan, kini tampak bertahan.
Beberapa teman sekelas tampak mulai kompak membalas. Di kelas, aku sendirian,
kemudian pingsan.
“Wuih, aku dibuat pingsan olehnya.”. Di
UKS, akhirnya, kutemukan celana, dalam keadaan aman.
Celana
yang elastis pinggangnya, tak siap berperang, tampaknya. Tetapi kesementaraan,
berlalu begitu saja. Aku datang kembali ke kelas. Mencoba siap menghadapi
Herman. Wajahnya kembali buas, mendapati titik lemahku. “Serang celana!”
ungkapnya. Seluruh mata teman-temanku, tertuju pada celana. Kami
berkejar-kejaran. Aku bertipu-daya. Meleset dari setiap jangkauan tangan. Kemudian,
ada wanita. Aku berhenti berlari akhirnya. Celanaku tewas. Teman-temanku
bersorak. Merdeka! Merdeka!