Mengertilah, peristiwa
tak sepenuhnya ingin bicara. Ia bahkan bungkam. Menidurkan banyak penyenyak. Ia
membuat tak banyak dari kita ambil bagian. Beberapa bahkan tanggal, dijadikan
hari libur nasional. Yang barang tentu tujuannya adalah “mari memperingati.”.
Ia menjadi seperti sebuah perayaan besar-besaran. Menjadi keharusan. “Kita
harus memperingatinya. Kita harus menjaga jasa-jasanya.”. Tetapi tetap saja,
peristiwa tak sepenuhnya ingin bicara. Seperti cinta, yang tak pernah ada
jawaban. Semakin bertanya kita mengenai cinta, semakin diam ia beribu bahasa.
Kemudian kita, berujung pada, salah tafsir. Memprasangkakan bentuk. Dan mabuk
pada lekuk. Sungguh, ini memalukan. Seharusnya, diam dilawan dengan diam.
Tanggal dilawan dengan tanggal. Angka dilawan dengan angka. Sungguh, ini
memalukan. Aku dan kau, saling bertikai.
Dan peperangan terus
berlanjut. Kursi kekuasaan yang telah patah kita ganti. Kita mulai mengubah
sistem. Menyelundupkan undang-undang. Membantai banyak pasal. Mengajak banyak
ayat membelot. Kita menyaksikan kata-kata banyak gantung diri karena tak kuasa
menahan makna. Akibatnya, kita yang tak berkesudahan, telah mengubur banyak
untuk bertahan. Sedangkan kekalahan hanyalah pelengkap dari yang tak pernah
lengkap.
Sudahlah, berhenti saja.
Kemudian tulis kembali kata. Tanpa prasangka. Tanpa tujuan. Tanpa apa-apa.
Karena aku dan kau: bukan tuhan siapa-siapa.