SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Sabtu, 04 Mei 2013

Pelajaran Sejarah



Mengertilah, peristiwa tak sepenuhnya ingin bicara. Ia bahkan bungkam. Menidurkan banyak penyenyak. Ia membuat tak banyak dari kita ambil bagian. Beberapa bahkan tanggal, dijadikan hari libur nasional. Yang barang tentu tujuannya adalah “mari memperingati.”. Ia menjadi seperti sebuah perayaan besar-besaran. Menjadi keharusan. “Kita harus memperingatinya. Kita harus menjaga jasa-jasanya.”. Tetapi tetap saja, peristiwa tak sepenuhnya ingin bicara. Seperti cinta, yang tak pernah ada jawaban. Semakin bertanya kita mengenai cinta, semakin diam ia beribu bahasa. Kemudian kita, berujung pada, salah tafsir. Memprasangkakan bentuk. Dan mabuk pada lekuk. Sungguh, ini memalukan. Seharusnya, diam dilawan dengan diam. Tanggal dilawan dengan tanggal. Angka dilawan dengan angka. Sungguh, ini memalukan. Aku dan kau, saling bertikai.

Dan peperangan terus berlanjut. Kursi kekuasaan yang telah patah kita ganti. Kita mulai mengubah sistem. Menyelundupkan undang-undang. Membantai banyak pasal. Mengajak banyak ayat membelot. Kita menyaksikan kata-kata banyak gantung diri karena tak kuasa menahan makna. Akibatnya, kita yang tak berkesudahan, telah mengubur banyak untuk bertahan. Sedangkan kekalahan hanyalah pelengkap dari yang tak pernah lengkap.

Sudahlah, berhenti saja. Kemudian tulis kembali kata. Tanpa prasangka. Tanpa tujuan. Tanpa apa-apa. Karena aku dan kau: bukan tuhan siapa-siapa.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.