SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Minggu, 02 Februari 2014

Misalnya Di Teras Rumah Ada Puisi

Misalnya di teras rumah ada puisi, apa yang ingin kau katakan?

Burung-burung walet bertengger pada kabel listrik,
membiarkan bulu-bulunya diguyur hujan.

Misalnya ketika di teras rumah ada puisi, yang menjelma
menjadi burung walet itu, apa yang ingin kau katakan?

Beberapa puisi, berterbangan, pindah pada kabel listrik yang lain.
Membiarkan bulu-bulunya yang sedang berkepakan turut diguyur hujan. 
Ia seperti menghiasi cakrawala, cakrawala yang akan datang. Ia seperti,
seketika peristiwa yang menyentak - burung-burung gagak
yang membusur tatapan.

Misalnya nih, saat di teras rumah ada hujan yang mengguyur pandangan,
belokan di ujung gang, dan puisi di hadapan. Bagaimana kau akan
mengatakan kepadanya (puisi ini)? Ia menatapmu. Ia menunggu.

Saat ini hujan mengguyur pandangan. Ada belokan di ujung gang.
Dan kau tidak pernah mencari alamat. Kau hanya singgah.
Kau hanya bertengger. Tapi kau bukan walet itu.Tapi kau bukan gagak itu.
Kau hanya arah. Kau tidak menentukan apa-apa.
Aku berhak menentukan apa-apa.

Aku ingin kau, jadilah puisi di hadapanku.
Menjadi aku.

Saat itu,

di teras rumah hujan mengguyur pandangan.

des '13

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.