SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Minggu, 02 Februari 2014

Vokal Dalam

Ha –

Hantifa sembunyi di balik batu sungai Aku duduk di atas batu memancing ikan
Melewati celah daun-daun sinarpun sampai Kail meloloskan umpan

Kail meloloskan umpan Ikan-ikan kecil menepi
Ikan-ikan besar keluarnya lamban Pelampung hanyut tanpa arti

Pelampung hanyut tanpa arti Bawi kau angkat, ikan pun kosong
Kau kembali duduk dan bertahan pada hati Pada arus sungai, tatapanmu melayang

Pada arus sungai, tatapanmu melayang Pada hilir, segala akhir mengalir
Pada batas hulu, segalanya pulang Pada muara, kita tentukan takdir

Pada muara, kita tentukan takdir Aku di hulu menemukan lagi batu
Batu pecah diukir banjir Rotan habis, hanya alu

Rotan habis, hanya alu Perempuan tua mencari pakis
Hatinya menyebar rindu Hutanku dulu, aku yang gadis

Hutanku dulu, aku yang gadis Kini mampus dibongkar tambang
Membasuh kulit, dukuku manis Sungaiku dulu, dahagaku hilang

Sungaiku dulu, dahagaku hilang Selepas naik bukit menatap langit
Perempuan-perempuan membasuh sinjang Aku pulang dalam hati terbersit


Aku pulang dalam hati terbersit Malam nanti saatnya berbisik-bisik
Aku memulai dengan kata-kata yang genit Pada celah dinding perempuan terisak

Pada celah dinding perempuan terisak Aku mencium suluh api pada sumbu
Malam larut menguak Pada perempuan, aku pamit tanpa ragu

Pada perempuan, aku pamit tanpa ragu Pada anjing melolong, aku menunduk khusuk
Tempat segalanya masuk, aku membuka pintu Tempat segalanya bersambung, aku sudah
masuk

Tempat segalanya bersambung, aku sudah masuk Aku membaringkan diri pada ranjang

Langkah-langkah berderit sudah melayang Pada ranjang, segalanya mulai hilang.

jan'14

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.