SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Oktober 2013

Menggaruk

sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas pada pori
bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat
bertemu lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai
tubuhmu. Dan berbahagialah kepada rambut, yang bersedia kita
kafani, meski matimu tak pernah utuh. Dan berbahagialah
kepada kita, rambut yang sering kali kita lukai (tanpa sadar) itu,
tanpa harap, tanpa balas dendam, telah memilih tumbuh sampai
pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet, tanpa takut pada pingset,
afitson, dan minyak pelicin otot-otot. Sebab dingin tak pernah
menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh, tak ada

maksud lain, hanya memberi tanda bila kalian mulai merinding.
sungguh, kami hanya ingin bahwa kalian mulai ingin. Sekarang
engkau aku tinggalkan, langsatmu suatu waktu akan pulih
kembali, dan mungkin, aku akan sulit mengenalmu, maka bila,
kau tak perlu sungkan menegurku, desis itu, amis itu, asin itu,
tentu lebih abadi. Lebih peduli ketimbang kulit kita yang renta.
lebih berjanji ketimbang nafsu yang api. Sekarang engkau aku
tinggalkan, dan sepi bukan milikmu, berlakulah seperti
sudah-sudah, seperti rambut (tanpa dendam) akan tanggal.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.