SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Oktober 2013

Mengunjungi Sandal


selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi
diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya, kata per
kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. Selamat
datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya
pantulan di senggang kalimat, ada juga kue cookies, secangkir
kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan paragraf
yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua.
atau meledak karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh,
hidung gaduh, igus riuh. Selamat datang, di halaman ini takkan
kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam bermuka telaga,
atau pun gugur purnama. Daun-daun, hanya mampu berucap:
selamat atau besok lusa. Tiada betina yang akan kau temui,
tiada ciuman yang serat di bibir. Selamat datang, dan biarkan
angka-angka itu saling tindih, nanti, di setiap celahnya, akan
kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai
pelataran jalan. Saat itulah, kau akan yakin, tentang
lorong-lorong sempit, nomor blok rumah, dan air panas yang
tumpah. Kau akan mencium kembali bau tetangga dari setiap
jemuran, dari berbagai sampah selokan. Bukankah dia Puput,
yang jam tangannya kau buat luput? Matanya yang dulu kau
sebut biru tualang, desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya
pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum meriam ke gigir
pantai. Aku tak suka pantai, aku suka pegunungan -- di atasnya
semakin dalam kulihat perjalanan. Kau seperti ingin
menemukan tempat asing. Ingin menemukan setiap kelainan
rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul. Padahal, yang
justru sering karam ditengah lautan adalah keanekaragaman,
kampung halaman penyair terlahir. Kau masih juga ingin nanap,
dan kapan kau akan melepasnya masuk kehalaman sembilan,
bertaruh kehidupan?
tenggelam.


Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.