selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya, kata per kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. Selamat datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya pantulan di senggang kalimat, ada juga kue cookies, secangkir kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan paragraf yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua. atau meledak karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh, hidung gaduh, igus riuh. Selamat datang, di halaman ini takkan kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam bermuka telaga, atau pun gugur purnama. Daun-daun, hanya mampu berucap: selamat atau besok lusa. Tiada betina yang akan kau temui, tiada ciuman yang serat di bibir. Selamat datang, dan biarkan angka-angka itu saling tindih, nanti, di setiap celahnya, akan kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai pelataran jalan. Saat itulah, kau akan yakin, tentang lorong-lorong sempit, nomor blok rumah, dan air panas yang tumpah. Kau akan mencium kembali bau tetangga dari setiap jemuran, dari berbagai sampah selokan. Bukankah dia Puput, yang jam tangannya kau buat luput? Matanya yang dulu kau sebut biru tualang, desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum meriam ke gigir pantai. Aku tak suka pantai, aku suka pegunungan -- di atasnya semakin dalam kulihat perjalanan. Kau seperti ingin menemukan tempat asing. Ingin menemukan setiap kelainan rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul. Padahal, yang justru sering karam ditengah lautan adalah keanekaragaman, kampung halaman penyair terlahir. Kau masih juga ingin nanap, dan kapan kau akan melepasnya masuk kehalaman sembilan, bertaruh kehidupan? tenggelam. |
“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”
...
ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah
menutup doanya.
sebelum tidur.
Samping Rumah
Kamis, 24 Oktober 2013
Mengunjungi Sandal
Laman
Pembunuh Sandal
Aku:
1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.
Sandal:
21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.
"Tadi, ngapain aja di sekolah?"
"Aku ada ujian mendadak."
"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."
"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."
Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.