SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Juni 2010

Catatan ke 13

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kita tidak mungkin jatuh, jika kau belum yakin terhentak oleh sesuatu. Sejak awal kau selalu yakin kau adalah orang yang berhasil dalam proses pendidikan. Dan memang begitulah adanya. Pendidikan berlaku kepada setiap orang selama seumur hidup – sampai ke liang lahat. Dan pendidikan terakhirmu adalah saat hembusan terakhir nafasmu – yang mungkin juga …. Dan di saat itulah, mungkin, kita akan tahu pendidikan sebenarnya. Rahasia. Dan tetap rahasia.

Aku selalu berusaha untuk tak menangis di hadapan orang lain. Menahan. Dan terus menahan. Hidup juga kegiatan belajar menahan nafas. Menurutku, memang begitulah. Itulah sebabnya, menahan tangis ternyata lebih hidup. Kita adalah bagian orang lain. Tapi, kehidupan, apakah diciptakan untuk menangis. Memang begitulah takdirnya. Karena kau,tak akan mengerti kebahagiaan itu, jika kau tak membangunnya dengan kesedihan. “Hidup hanyalah menunda kekalahan.”

Aku juga tak pernah mengerti. Kau selalu saja sadar setelah melakukan kesalahan. Namun, untuk kau selalu yakin, kau benar melakukan kesalahan. Mungkin, disitulah kemenanganmu, tahu kebenaran setelah melakukan kesalahan.

Setiap orang telah diberi waktu hidup dan mungkin telah menyepakatinya. Tentu menyepakati. Jadi, juga tidak tepat kita mengejar waktu ataupun waktu yang selalu mengejar-ngejar kita sehingga kita berlari terbirit-birit. Waktu adalah kita, kehidupan ini juga bagian dari waktu. Dia mungkin juga orang tuamu, yang selalu menasehatimu untuk menjadi anak yang soleh dan tekun belajar, kadang keduanya memarahimu, karena kau tak mau nurut, “bapak, emak, bukan maksudku, aku belum mengerti. Mungkin aku harus terluka, jatuh dari sepeda, patah kaki, atau kehilangan kalian untuk selamanya.
19 Juni 2007

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.