SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Juni 2010

SANDAL-SANDAL YANG BERGERAK KE ARAH TANYA

;kolastra

pintu gerbang sekolah kembali terbuka, di pagi yang berbeda.
baru saja berbunga, hari-hari lampau, daun-daun beringin berserakan.
apa yang kita ingat dari seorang penjaga kebersihan selain seikat sapu lidi
yang mapan? Di pagi berbeda, di wajah penjaga yang telah kami kenal lama,
tak cukup kami hanya bertanya. Tetapi kadang ingin juga kami bercerita –
tentang kemenangan itu. Tentang air muka kami yang teduh. Tentang teks
kami yang berlabuh. Kau (mungkin) baru pertama kali datang, dan tahu
arti kehilangan. Seperti, – bel yang berbunyi_ kami hening dalam kelas.
jangan lagi kau tendang pintu gerbang. Kau telah telat seperempat jam.
tidurmu yang pulas membuatmu bergegas – kecewa. Dan apa yang berbunyi
di tengah lapangan, bunyimu nanti; tepat dan setia. Setia pada dedaunan
berserakan, rontok sebelum umur. Setelah itu, kita menyatakan sepakat,
pada hujan yang membentur tangkai. Apa pun yang terjadi, tidak boleh ada
yang dilerai. Maka kami memaknai perpisahan sebagai pertentangan.
memaknai penerimaan sebagai harapan. Kau tahu, teman, musuh utama kita
adalah ketakutan. Di akhir cerita kemenangan dan kekalahan.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.