SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Juni 2010

POPULARITAS SASTRA

Adakah masyarakat kita masyarakat pembaca karya sastra?

Beberapa waktu lalu, dalam media yang sama, seorang esais kita kembali “tergoda” menyinggung apa dan bagaimana karya sastra memposisikan dirinya di masyarakat. Secara definitif (boleh dikatakan) masyarakat yang jauh dari dunia kepenulisan serius karya sastra. Karya yang baru terbaca setelah digembar-gemborkan isi “ceritanya”. Sehingga karya sastra tersebut menjadi populer dikalangan konsumen yang kurang menyukai bacaan-bacaan sastra. Karya sastra ini pada akhirnya mengalami persoalan pelik para pembaca; baik awam maupun suntuk.

Ketika karya sastra itu dinilai, muncul dua garis yang bersilangan dan keduanya sama kuat. Yang satu menggolongkannya sebagai karya sastra populer dan yang lain memposisikannya sebagai karya bukan sastra. Alasan pertama dinilai dari bangunan metafora kata-katanya. Kita tahu bagian penting dari karya sastra adalah metafora. Maka menurut pendapat pertama karya tersebut mutlak dikatakan karya sastra. Alasan kedua, tentunya, datang dari kalangan pembaca karya sastra secara serius sehingga yang dinilai adalah mutu karya secara estetis. Karena alasan itulah para pendukungnya sependapat bahwa karya tersebut bukan karya sastra meski bermetafora.

Hal yang krusial seperti masalah ekonomi provinsi saat ini, karya “sastra” tersebut tidak begitu dibawa serius ke sidang persoalan tetapi diambil jalan tengah atau yang identik kita sebut sebagai karya “sastra populer”.

Adakah karya sastra populer?

Kalangan yang tidak mau ambil pusing ini menganggap ada hal praktis yang perlu diselesaikan layaknya persoalan mutu pendidikan kita saat ini. “Persoalan sastra perlu mendapat tindakan cepat,” begitu katanya. Dan justru persoalan ini kembali melambung – meski ini baru indikasi. Kenyataannya sastra tentu merupakan persoalan serius karena merupakan persoalan kemanusian. Karena persoalan kemanusian maka persoalan ini merupakan persoalan musiman.

Dengan demikian, tak salah, bila akhirnya toko-toko buku banyak menjajakan buku-buku sastra yang diterbitkan dengan tema musiman. Bila hari A musim durian maka kita akan banyak mengangkat persoalan sekitar durian itu. Sebentar lagi musim duku, kita pun, berancang-ancang dengan tema sekitar duku. Kemanakah persoalan “universal” itu?

Kita, nampaknya, tak perlu kuatir. Persoalan universal tersebut mendapat pengejawantahannya dalam puisi-puisi gugur daun dan tunas merambat. Sesekali selesai dengan silsilah pohon, silsilah sungai, silsilah tanah, silsilah rumah, dan sampai juga pada batu yang paling purba. Akhirnya aku dibawa antara surga dan neraka. Dibawa antara mitos dan realitas. Itulah poesi, katanya. Tak terjebak pada mitos meski yang dia tulis adalah mitologi. Kekitaan tidak terjebak dalam kekinian. Karena puisi (seni itu sendiri) luput dari waktu.

Adakah waktu dalam karya sastra kita?

Sebenarnya inilah yang keliru kita persoalkan dari puisi yang menginjak di bumi sampai pusi yang gagal menginjak di mars. Yang universil itu tidak terletak pada persoalan waktu. Tapi meniadakan titik acuan.

Seperti persoalan energi pada masa mekanika klasik, Albert Enstein, menjadi populer justru bukan karena konstribusinya dalam menjelaskan efek foto listrik tetapi terletak pada “relatif” dalam acuan. Tidak ada acuan baku. Semuanya relatif. Baik dan buruk itu relatif. Padahal pada keadaan demikian Enstein tetap membutuhkan konstanta.

Adakah konstanta dalam sastra?

Enstein memiliki pamungkas. Bagaimana dengan kesusastraan kita?

Jika kita mengamati kembali tentang apa dan siapa ilmu pengetahuan, kita akan menemukan bahwa cabang-cabang ilmu yang berhasil dibelajarkan adalah ilmu yang dalam perkembangannya saling berkaitan, saling melengkapi, dan saling menghargai, bahkan teori saat ini dapat dibuktikan dengan teori sebelumnya.

Adakah tokoh dan penemu dalam sastra?

Sejalan dengan pertanyaan di atas, kita pada akhirnya menggolongkan mana yang dikategorikan sebagai sastrawan dan mana yang akademisi sastra. Sebagai satrawan dia akan berhubungan langsung dan berempati – merefleksikan realitas kehidupan masyarakat secara subjektif bukan kolektif sedangkan para akademisi sastra akan menyusunnya secara kolektif sehingga berada dalam bab-bab. Kenyataan inilah yang mempersoalkan kembali “seni untuk seni”.

Adakah sastra sebagai ilmu?

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.