SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Juni 2010

Catatan ke 17

Persoalan aksiologi dalam karya sastra bukan terletak pada bagaimana cara mengungkapkan karya sastra kepada masyarakat melainkan bagaimana masyarakat memiliki keinginan membaca karya sastra.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah dari 8 (seingat saya) model kebutuhan manusia menurut Maslow, karya sastra menempatkan diri di ruang kebutuhan yang mana?

Kebutuhan: segala sesuatu yang bersumber dari hati nurani (yang berbicara dari nurani).
Keinginan: segala sesuatu yang memunculkan motivasi dan tujuan.

Sedangkan nafsu berada di antara keduanya yang disebut daya ekspresi.



kebutuhan => daya ekspresi<=keinginan

daya ekspresi => katarsis


Keinginan berarti menyerap segala yang berbau mekanis. Kebutuhan berarti efektifitas kerja. Dengan kata lain usaha input kecil dan energi yang dihasilkan besar. Untuk mendapatkan usaha input kecil maka perlu merumuskan “yang berbau mekanis” sehingga dihasilkan alat ( daya ekspresi ).

Keinginan merumuskan kesederhanaan adalah ketidaksederhanaan.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.