SELAMAT DATANG DI MEJA HIDANGAN OKY SANJAYA

“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”

...

ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah

menutup doanya.

sebelum tidur.

Samping Rumah

Samping Rumah

Kamis, 24 Juni 2010

RUMAH

-- sandra

1.
kau tahu, mengapa kita perlu selalu mengunci pintu? Supaya tidak ada pencuri masuk, sayangku. Supaya, leluasa, di antara kita, memencet bel. Supaya, seperti pertanda, di antara kita, ada yang perlu berkemas atau bersiap-siap. Sudah ramahkah yang ada di dalam rumah? Seisi tangga, bergerak turun. Seisi tangga, bergerak, berkumpul ke ruang santun. Kau atau aku membuka pintu? Bagaimana kalau kita menelepon dahulu? Seberapa tahu, kau, yang ada di luar pintu? Seberapa mengerti, kita, gerak-gerik lagi, angin, dan bunga-bunga kertas dalam pot, sesuatu yang keras di teras rumah? Seberapa jelas, posisi kita – menolak atau menerima sesuatu kedatangan yang tiba-tiba. menjadikannya tidak tersisa begitu saja. Kau tahu, kita baru saja masuk, baru saja selesai, mencocok-cocokkan kunci mana yang pas dengan pintu rumah kita.

2.
kau yakin tidak ada orang di dalam rumah? Tidak ada sesiapa? Coba kau intip dari
jendela. Jangan kau ketuk-ketuk lagi pintu muka. Belnya mati. Wajar tak terdengar
dari tadi. Kita, kini, yang selayaknya bertanya-tanya. Ini rumah kita, kan?

3.
mengapa, seperti pencuri, pintu selalu diberi kunci, sayangku? Dia selalu terbuka, membiarkan sandal dan kita masuk, membiarkan kita kemudian, berpergian. Mencatat kita, bagian lain dari ruang yang kadang-kadang dingin, kadang-kadang panas meretas. Kau tahu, hujan di hutan, lebih ganas dibandingkan di halaman. Meski keduanya ditumbuhi rerumputan.

4.
kita, sayangku, selalu memaknai penting dinding. Tidak ada dinding, tak tampak batas kita. Tak tampak sudut ruang mana kita berada. Tanpa dinding, pintu pun tak berarti apa-apa. Kunci tentu tak berjumpa dengan manfaatnya. Tanpa dinding, kita kehilangan rasa aman dan nyaman. Kita kehilangan sesuatu yang pantas terbuka. Kita mungkin, takkan membutuhkan lagi jendela. Kita, mungkin, melihat rembulan, bintang-bintang, begitu terbuka. Kita tak membutuhkan tirai tertutup atau menggesernya sedikit saja. Kita tidak membutuhkan mengintip sesiapa di luar jendela. Kita terlampau terbuka. Karena dinding, kita tetap waspada.

karena dinding, pintu tetap menjadikan kita sebagai tamu, sayangku. Yang pelan-pelan mengelak dengan tegur-sapa paling rahasia, dengan tegur-sapa paling kata. sayangku, pintu kita, pintu yang kadang-kadang lupa, kadang-kadang alpa.

ketahuilah, tanpa dinding, rumah baru jadi kerangka.



5.
jangan kau sia-siakan mata untuk menyimpan rahasia. Jauh di dasarnya ada bunga
paling waspada. Kau tahu berapa serangga terkena ranjaunya? Satu di antaranya
adalah cinta.


begitulah pintu, mencatat jejak-jejak yang datang dan pergi, tanpa kecewa. Hanya
memang, sesekali kita mendengar dia menderit. Engselnya yang tak terawat
mungkin juga sudah renta atau salah cara memasangnya. Tapi, ia pintu, sayangku.
kau sempat tersedu kan di tubuhnya? Sesuatu yang datang dan yang pergi, kadang,
begitu saja kita tak berkata-kata kepadanya. Mungkin, karena ia, sementara.

6.
mengapa tak ada lagi pohon di pekarangan rumah? Hanya ada bunga-bunga pagar.
kapan kalian memutuskan untuk menggantikannya dengan yang lebih dapat
terawat? Kau tahu, aku benci semua itu. Meski aku baru saja memikirkannya
dari bingkai pintu.

7.
tapi, dari kata yang tak terucap, tak sepenuhnya terungkap. Apa karena itu
kau mencintaiku? Tidak. Aku mencintaimu karena kau lebih tahu ketimbang
aku, mengapa aku tak mengatakan sesuatupun kepadamu.

pintu telah kubuka dengan melumpuhkan engselnya.

Laman

Pembunuh Sandal

Aku:

1.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika usiaku genap 20 tahun. Masa di mana aku menyelesaikan pubertas yang rumit. Beberapa kali, di beberapa bagian kulit tubuhku, dingin dan gemetar, entah berasal dari mana. Kadang kala, aku memilih duduk di pojok layaknya orang yang ketakutan. “Kakiku telah ditelanjangi.”. Gigi-gigiku entah mengapa saling adu. Dan aku menggeleng-geleng gemetar. “Aku tidak membunuhnya. Aku tidak menghukumnya. Aku tiba-tiba saja. Apakah perlakuan yang tiba-tiba saja pantas diberi hukuman?”. Kau tidak tahu perasaanku saat itu – berjalan telanjang, membawa dia ke dalam ranjang tepat saat aku mencoba tidur. Tetapi, apa yang selanjutnya aku lakukan? Diam-diam mataku membelalak, mengukur kemungkinan panjang, lebar, dan tinggi kamar. Air mataku keluar. Dua tanganku meraba lantai. Kali ini benar aku telah merasa kehilangan.

Sandal:

21
Aku, ingin sekali merapihkan meja waktu itu. Mengganti taplaknya, dengan yang lebih tampak hangat. Ingin sekali, aku tancapkan lilin di tengah. Menggeser tumpukan buah. Kita berdua duduk, mulai lagi bicara. Menyederhanakan yang telah lama kita anggap rumit.

"Tadi, ngapain aja di sekolah?"

"Aku ada ujian mendadak."

"Tetapi jantungmu tidak dilatih untuk lemah."

"Ia, aku tahu. Tetapi aku kurang siap."

Waktu itu, ingin sekali, aku sajikan nasi dan hati yang berseri-seri.